Ijinkan saya menceritakan suatu kisah nyata untuk memahami ‘Warisan’.
Jeffrey Lang, seorang Mualaf yang juga seorang Profesor Matematika asal Amerika, dalam suatu ceramahnya pernah mengungkap pertumbuhan Islam di Amerika yang menggembirakan sekaligus menyedihkan. Menggembirakan (bagi Muslim) karena banyak non-muslim yang mendapat hidayah dan masuk Islam. Mereka datang ke mesjid-mesjid lokal, mencari informasi, kemudian memutuskan untuk menjadi mualaf. Setiap bulannya jumlah ini selalu bertambah. Pada suatu waktu, datang empat orang wanita warga negara Amerika datang ke sebuah Mesjid setempat. Mereka, secara bersama-sama, saling menguatkan dan memutuskan untuk menjadi Mualaf pada saat itu juga. Semenjak itu mereka sering mengunjungi Mesjid untuk mempelajari agama. Tapi setiap kali mereka datang ke Mesjid mereka selalu mendapatkan penolakan dari sekelompok Muslim keturunan. Mereka di bentak, dimarahi bahkan di usir dari mesjid. Bagi orang-orang dari kelompok tersebut, wanita dilarang untuk mengikuti kajian di mesjid bersama dengan para muslimin (pria). Hingga akhirnya keempat mualaf tersebut tidak lagi datang berkunjung ke mesjid. Tiga dari empat mualaf itu kini murtad kembali (1).
Mengapa hal itu bisa sampai terjadi?
Karena sekelompok muslim keturunan tersebut membawa pemahaman warisan mereka, dimana wanita tidak boleh duduk bersama dalam satu majelis, bahwa wanita tidak secerdas laki-laki, bahwa tugas wanita adalah berdiam diri dirumah.
Karena warisan pemahaman agama seperti itulah yang di pahami oleh sekelompok muslim keturuan tersebut. Bukan karena Islam-nya, tapi karena warisan pemahamannya.
Agama itu warisan? Jelas bukan, setidaknya tidak sepenuhnya tepat. Saya setuju itu.
’Warisan’ adalah tentang pemahaman dan persepsi orang terhadap agama yang dianutnya. Â
Persepsi dan pemahaman tersebut seringkali merupakan warisan pemahaman dari keluarganya, kelompoknya, dan pemuka agamanya.
Persepsi dan pemahaman tersebut bukanlah suatu kebenaran yang hakiki dari agamanya.
Tapi persepsi dan pemahaman itulah yang seringkali menjadi dasar dalam menentukan sikap seseorang pada orang lain.
Kemudian kita anggap persepsi dan pemahaman itu benar karena telah diwariskan secara turun temurun.