Mohon tunggu...
Galih M. Rosyadi (Galih R)
Galih M. Rosyadi (Galih R) Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wartawan, Kreator Konten, Penyair, dan Pegiat Kesenian.

ig: @galih_m_rosyadi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Memvaksin" Kekuasaan & Kepercayaan Publik

15 Januari 2021   03:05 Diperbarui: 15 Januari 2021   04:47 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Galih M. Rosyadi

Pada hari Rabu (13 Januari 2021), di kediamannya Presiden Joko Widodo baru saja menerima suntikan vaksin Sinovac. Dalam unggahan Instagramnya Jokowi menyebutkan bahwa “vaksin tersebut disuntikkan setelah BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat". Dan ia juga menyebutkan bahwa "hasil evaluasi BPOM menunjukkan, Sinovac memiliki efikasi sebesar 65,3% persen, lebih tinggi dari standar WHO yaitu 50%”. 

Ia juga menyebutkan, bahwa “sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia juga telah menyatakan vaksin Sinovac halal untuk digunakan. Dan ia juga memerintahkan agar vaksinasi covid-19 segera bisa mulai dilaksanakan di seluruh Tanah Air”.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul setelah melihat postingan tersebut. Pertama: Apa benar vaksin tersebut aman? Karena jika melihat beberapa waktu ke belakang, pada bulan Desember yang lalu pemerintah sudah terlebih dahulu menginpor vaksin tersebut secara besar-besaran ke sejumlah daerah seperti Lampung, Surabaya dan juga Palembang. Bebarengan dengan itu pemerintah juga telah merencanakan bahwa proses penggunaan vaksin tersebut akan dilakukan secara seksama pada pertengahan Januari tahun ini. Dan kita tahu, bahwa rencana pemerintah tersebut sudah ada jauh sebelum BPOM melakukan penelitian dan mengeluarkan izin penggunaan darurat atas vaksin tersebut.

Dari sini saja sebetulnya sudah menimbulkan kecurigaan: Apa benar penelitian yang dilakukan oleh BPOM tersebut sudah benar-benar final dan telah dilakukan tanpa adanya tekanan?

Dari postingan tersebut juga kita sebetulnya bisa melihat, apa yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut terkesan jadi seperti semacam iklan, seperti semacam upaya yang dibuat untuk menarik kepercayaan publik. Tapi sayangnya, upaya tersebut justru dilemahkan sendiri oleh pernyataan yang terpampang yang secara terang-terangan menyebutkan bahwa efikasi vaksin tersebut hanya sebesar 65,3%.

Dari sini juga menimbulkan pertanyaan baru: mengapa pemerintah hanya membeli vaksin yang efikasinya hanya 65,3%? Bukankah sebelumnya pemerintah sudah mencadangkan anggaran yang cukup besar untuk penanganan covid-19? Pertanyaan selanjutnya: ke mana anggaran tersebut dialokasikan? Sebab jika memang pemerintah benar-benar serius berniat untuk menyelesaikan masalah tersebut, harusnya mereka bisa menyediakan vaksin yang memiliki efikasi yang jauh lebih baik dan jauh lebih aman.

Pertanyaan berikutnya adalah: Apa yang menjadi alasan pemerintah menyatakan predikat Halal dan Suci terhadap vaksin tersebut? Bukankah yang sebetulnya dipertanyakan publik adalah status aman dan tidaknya vaksin tersebut bagi tubuh?  Bukankah dengan pernyataan seperti itu bisa menimbulkan opini di tengah masyarakat bahwa pemerintah menganggap masyarakat sebagai orang yang begitu fanatik terhadap agama dan mengabaikan logika? Dan bukankah dengan cara demikian secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemerintah telah menggunakan agama untuk melegitimasi masyarakat?.

Kemudian, apa yang menjadi motivasi pemerintah mengajak sejumlah artis untuk mengkampanyekan vaksin tersebut? Bukankah dengan cara seperti itu publik justru akan mengira bahwa kebijakan pemerintah itu sudah menjadi seperti kebijakan dagang?  Dan bukankah dengan cara seperti itu juga sebetulnya pemerintah secara tidak langsung sedang menarasikan dirinya sebagai marketting? Apalagi sampai pemerintah memilih untuk menggunakan jasa artis yang secara tidak langsung turut mengendors vaksin tersebut.

Lalu kemudian, kenapa pemerintah setelah menarasikan dirinya seperti pedagang tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan mendenda siapa saja yang menolak vaksin tersebut? Mengapa publik harus dipaksa menggunakan produk vaksin yang hanya memiliki efikasi yang terbilang rendah dan masih dipertanyakan efek sampingnya? Bukankah hal tersebut juga bisa menimbulkan permasalahan baru?

Lalu kemudian, kenapa denda tersebut harus diberlakukan? Bukankah di awal pandemi ini muncul pemerintah sendiri tidak melakukan upaya yang benar-benar serius untuk menangani hal tersebut. Alih-alih memperhatikan keselamatan masyarakat, justru pemerintah malah mendahulukan kondisi ekonomi. Bukankah ini merupakan kebijakan yang sudah sangat tidak adil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun