Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Max dan Moritz

12 Februari 2014   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_322232" align="aligncenter" width="576" caption="Menjadi raja bukan hanya pandai berkuda ...."][/caption]

Adalah Moritz, seorang pangeran yang hanya dibesarkan oleh Baginda Raja dan para dayang. Pangeran tumbuh sebagai pemuda yang manja dan seenaknya. Ulahnya membuat hati Baginda Raja menderita dari hari ke hari. Kepiawaian raja mengatur kerajaan dan rakyat sudah tak usah diragukan lagi, namun ternyata mengatur anak sendiri, susahnya minta ampun. Ketika beranjak dewasa, anaknya itu bahkan tidak tertarik dan tak mau belajar tentang ketatanegaraan, kepemimpinan, ilmu bela diri atau bekal lain yang diberikan pejabat istana untuk mempersiapkan diri anak-anak para bangsawan di lingkungannya. Baginda pusing kepala. Bukankah pangeran Moritz akan menjadi pewaris mahkota raja jika Baginda mangkat? Gelaran itu perlu dan harus diikutinya. Nyatanya, tiap hari kerjaan pangeran hanya bermain-main dengan kuda di kandang. Sesekali, ia akan bermalasan di atas tumpukan jerami lalu tertidur di sana sampai para pengawal menjemputnya.

Di sebelah kandang kuda kerajaan, ada sebuah gubuk. Di tempat itulah seorang lelaki tua dengan anaknya, Maximillian tinggal. Merekalah yang bertugas memberi makan dan membersihkan kandang kuda setiap hari. Anak si tukang kuda, seusia dengan pangeran. Bedanya, ia lebih rajin dan berkemauan keras dibanding sang pangeran. Ditambah paras yang lebih menawan, badan yang lebih gagah dan wajah yang sangat bersinar, layaknya matahari menyinari bumi.

Rampung membantu ayahnya memberi makan dan membersihkan kandang kuda, Max berniat mengikuti pelajaran-pelajaran yang digelar di istana. Saat mengantar kuda jalan-jalan dan melewati ruangan istana tempat para bangsawan belajar, ia terkesima. Sebenarnya, sang ayah tak ingin anaknya itu seperti pungguk merindu bulan. Bukankah pendidikan tinggi itu hanya untuk mereka kalangan bangsawan? Sedangkan mereka ini hanya kawula alit. Max tak patah arang. Malu bertanya sesat di jalan. Maximillian pun memberanikan diri menghadap Baginda, bersimpuh dan memohon ijin. Beruntung, Baginda raja berhati seluas samudera, beliau meluluskan permintaan anak si tukang kuda yang berani. Maximillianpun segera diantar sang raja ke tempat penggodokan para putra bangsawan itu. Sedangkan Moritz, putra raja, tetap seperti biasa ... hanya mandi, makan, berkuda, malas-malasan dan tidur saja.

***

Tahun berganti tahun, Baginda merasa letih. Sebenarnya, umurnya belum begitu tua. Tapi entah apa sebabnya Baginda raja sakit keras. Sudah beratus-ratus tabib didatangkan dari berbagai negeri. Tetap saja tak diketahui apa penyebab dan obatnya. Baginda lemah-lunglai, tak berdaya. Untuk sementara, kerajaan dijalankan oleh penasehat istana yang terpercaya.

Suatu hari, Baginda memanggil Max dan Moritz. Baginda mengatakan bahwa ia sudah tak sanggup lagi melanjutkan tahta kerajaan yang sudah dipegangnya turun-temurun. Dan tak bisa membiarkan penasehat istana menggantikannya selama ia berbaring karena sakit. Dengan berbagai pertimbangan dan perundingan dengan penasehat istana, Baginda akhirnya membuat sebuah keputusan.

„Moritz, maafkan ayah, nak. Ayah harus memberitahumu tentang ini meskipun pahit kenyataannya.“

„Ah, ayah ... kalau ayah sudah tak sanggup lagi untuk meneruskan kerajaan. Serahkan padaku saja. Aku pintar naik kuda, aku tangguh mengendalikan kuda-kuda manapun di lingkungan istana.“

„Anakku ... memimpin sebuah kerajaan bukan hanya menghadapi hewan seperti kuda. Banyak manusia dan tatanan yang harus diatur di dalamnya. Ini sangat berbeda. Engkau memerlukan ilmu dan pengalaman. Engkau sudah menolak untuk menimbanya hingga kini ... terlambat sudah. Engkau sudah dewasa tapi tak sedikitpun bekal yang ada.“

„Ayah kuno, anakmu ini yakin pasti bisa menjalankan kerajaan kalau sudah terbiasa. Ada penasehat, ada hulu balang, ada punggawa, ada dayang, ada rakyat. Tinggal tepuk, mereka datang. Semua bisa membantuku. Alah bisa karena biasa!“

„Kamu tidak mengerti apa maksud perkataan ayah barusan. Sekarang, ayah memutuskan untuk memilih Max menjadi raja menggantikan ayahmu. Ia naik ke singgasana karena memiliki bekal yang cukup ....“

„Apa? Anak tukang kuda ini??? Dia bukan bangsawan, ayah. Dia tidak pantas untuk memimpin orang yang bukan bangsawan sekalipun! Mengotori klan keturunan keluarga kita saja.“

„Maaf, Baginda. Hamba kira, pangeran Moritz benar. Hamba tidak pantas untuk menerima mahkota. Pangeran Moritz yang lebih berhak. Hamba ini hanyalah anak seorang tukang kuda.“

„Maximillian, ini titahku. Engkau harus bersyukur bahwa selama ini ada keinginan kuatmu mempelajari semua hal yang diperlukan untuk menjadi pemimpin dengan baik dan benar. Baginda sudah mendengar dari para pejabat istana, engkaulah yang terbaik. Ilmumu tidak dikuasai anak tunggalku. Ini membuatku yakin, kamulah orang yang paling tepat. Sebagai anak tukang kuda, kemampuanmu mengendalikan kuda-kuda di seluruh negeri ini pasti bukan barang baru lagi untukmu. Baginda yakin, engkau tak hanya akan menjadi panglima perang yang tangguh di atas kudamu, melainkan seorang pemimpin yang bijaksana. Engkau berangkat dari bawah sekali. Baginda yakin, engkau pandai menempatkan diri. Engkau tahu harus bagaimana ketika berada di pucuk pohon. Menyerahkan kerajaan tidak hanya karena hubungan keluarga atau harus berdarah bangsawan, ini masalah kepercayaan dan masa depan rakyat. Dan engkau, Moritz, ayahmu masih berstatus raja hingga penobatan Maximillian nanti. Engkau harus menerima keputusan ini. Siapa menanam pasti akan menuai. Selama ini tak sebijipun yang engkau tanam dalam hidup. Mana mungkin kau tuai sesuatu, nak? Engkau telah menyia-nyiakan waktu kesempatan yang telah kuberikan padamu, dulu.“

[caption id="attachment_322233" align="aligncenter" width="470" caption="Aku keturuan raja, darahku bangsawan dan pintar berkuda"]

13922124742025862269
13922124742025862269
[/caption]

[caption id="attachment_322234" align="aligncenter" width="502" caption="Aku anak si tukang kuda, Baginda mengangkatku sebagai raja karena terpercaya"]

1392212517229520782
1392212517229520782
[/caption]

Pangeran Moritz marahnya bukan kepalang. Ia geram. Ia yang memiliki darah bangsawan, pewaris tunggal ayahnya yang seorang raja, justru tidak akan diangkat sebagai raja. Max? Grrrrr ... anak si tukang kuda itu yang terpilih! Pangeran Moritz menggebrak meja, ia meninggalkan ruangan tanpa permisi. Membanting pintu, dan lalu pergi. Air mata kesedihan dan penyesalan berhamburan. Ia lari ke kandang kuda dan menyendiri di sana .... (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun