Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rasanya Menjadi Siswa "Kelas Tablet"

12 Oktober 2021   03:09 Diperbarui: 13 Oktober 2021   07:16 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jadi murid kelas tablet (Dokumentasi Gaganawati)

Mengecek akun pribadi, terperanjat. Yaolooohhh, posting terakhir 1 bulan yang lalu. Baru sadar kalau rajin posting di Kompasiana tapi akun komunitas. Tiap minggu nulis tapi milik sendiri terbengkalai. Mau pingsan, deh. Wkwkwk.

Ya udah, di sela-sela bikin PR dan tugas kantor, saya coba bagi pengalaman saya menjadi siswa "Kelas Tablet."

Eh, apaan itu kelas tablet? Bukan kelas yang minum tablet tiap hari, bukaaaan. Ini kelas percobaan di kampus kami di mana hanya kelas-kelas tertentu yang dibagi Ipad 10.2 dengan IOS 15,1. secara gratis. 

What? Gratis??? Bukannya satu Ipad harganya 326,59 euro (harga diskon karena borong, harga sebenarnya lebih mahal) atau 5 jutaan rupiah? 

Yaaa namanya Jerman kaya, pajak pendapatan per orangnya 30%. Uang nggak hanya dibuang dijalan buat jalan tol saja, tapi juga untuk program pendidikan. Maju! 

Baiklah, supaya pada nggak penasaran, akan saya ceritakan dengan singkat. Ini bukan hoax, ya. Wkwkwk.

Pembagian Ipad 10.2

Selasa pagi. Itu hari pertama di tiap minggu saya harus ke sekolah. Hari lainnya Rabu dan Jumat. Sisa hari lainnya, kerja. Huhuuu ... paling seneng mendengar hari Sabtu dan hari Minggu. 

Yailah, umurnya berapa disuruh sekolah lagi. Jerman memang sadis. Kalau teman-teman bawa anak-anak ke Jerman, mereka akan diturunkan kelasnya juga. Misalnya kelas 1 SD jadi TK, kelas 5 jadi 4 dan seterusnya. Yang S1 bisa saja jadi SMA, begitu pula S2 bisa jadi S1 bahkan SMA. Kecuali jurusan kedokteran dan jurusan lain yang dibutuhkan Jerman karena kekurangan, silakan memble. Kejjjjaaam, kaaan.

Yah, nyerah. 

Yang baru bergabung di Kompasiana (terlihat banyak penulis baru yang rajin menulis di K, euy), perkenalkan saya Gana, 45 tahun. Sebenarnya, sudah sejak 2011 menulis di Kompasiana tapi entah mengapa belum punya tulisan sebanyak harapan saya 1 hari satu tulisan. Aduhh, mana bisa, bisa ambyar dah hari gini. 

Saat ini saya menempuh program Ausbildung semacam beasiswa sekolah sambil kerja selama 3 tahun yang banyak ditawarkan di perusahaan atau lembaga di Jerman. Yang berarti itu prioritas pertama saya dulu untuk tiga tahun ini. Maafkan saya. 

Masih dua tahun lagi dijalani, mohon doanya, sabbbbarrr (icon ngelus dada). Sehari 24 jam, kalau kerja/sekolahnya 8 jam per hari belum kerjaan rumah tangga, anak-anak, suami dan PR/Tugas, serasa dikejar-kejar waktunya dan badan sudah nggak kayak zaman kinyis-kinyis lagi. Jiah, biru-biruuuu semuanya. Ngeles karena nggak bisa nulis seperti dulu di Kompasiana.

Ah, nglantur ngomongnya.

Balik lagi ke hari Selasa pagi, deh. Itu rupanya hari "Ueberraschung", kejutan bagi kami. Karena guru wali kelas mengumumkan bahwa hari itu kami akan mendapatkan satu ipad 10.2 dengan 32 GB anyar gress dari sekolah. Itu keputusan mendadak dari kepala sekolah, agar kelas kami menjadi kelas tablet.

Oh, ya. Di sekolah kami banyak jurusan yang bisa diambil; jurusan PGTK (pendidikan guru TK), jurusan keperawatan, jurusan marketing dan masih banyak lagi. Saya ambil yang PGTK karena selain saya suka anak-anak, saya pernah menjadi guru TK di Indonesia selama 5 tahun (tapi tidak diakui oleh P dan K Jerman dan harus mengulangi). 

Untung, sekolahnya hanya 10 menit dari rumah. Jika saya ingin melanjutkan kuliah, harus jauh minimal 1-2 jam perjalanan ke kampus. Ya udah, yang gampang saja dijalani. 

Turun pangkat. Kalau PGTK di Indonesia atau Inggris setara dengan universitas, di Jerman setara dengan sekolah kejuruan atau lebih rendah dari akademi. Konon, akan ada perubahan bahwa kami akan mendapatkan gelas B.Sc. Jiahhh bachelor. Ini naik pangkat apa turun pangkat, coba. Hihihi.

Teman-teman. Beruntung bahwa kelas kami adalah salah satu kelas atau jurusan yang dipilih untuk menjadi kelas digital di sekolah kami. Belajar mengajar dengan Ipad. 

Sebenarnya selama WFH, kami sudah menjadi kelas digital karena kelas dengan zoom meeting dan materi pelajaran dari moodle serta komunikasi dengan webuntis. Baru beberapa bulan ini saja kami kembali ke kelas normal, hadir tapi dengan masker dan protokol kesehatan lainnya. Konon per 18 Oktober nanti tanpa masker. 

Sekilas info. Selama pandemi, kalau mau ke toilet jauhhh, harus mengelilingi gedung dulu karena jalannya diatur hanya boleh satu arah. Padahal kalau dua arah cuma 5 langkah saja, tuh. Hiks. 

Nah... Selama pembagian Ipad di atas, kami diminta untuk menandatangani surat tanda terima Ipad 10.2 tadi. Tertera, kami boleh menggunakannya secara gratis selama 2 tahun dan dikembalikan setelahnya. Jika rusak atau hilang, ditanggung asuransi. Satu lembar untuk sekolah, satu lembar untuk kami simpan. 

Masing-masing tablet memiliki nama masing-masing siswa, tertulis di belakang sampul Ipad, dengan nomor registrasi. Malah harga Ipad juga ada, 326, 59 euro yang kalau dipasaran lebih mahal. Bisa saja kampus belinya banyak jadi dapat diskon. Maklum, kan ribuan belinya.

Satu yang harus diingat, jika kami istirahat dan meninggalkan ipad (dan pensilnya) di kelas, kami dianjurkan memasukkannya di tas. Jika di atas meja, asuransi tidak akan menanggung kehilangan karena dikategorikan sebagai sembrono alias mengundang maling.

Teknisi dari kampus ikut masuk bersama guru wali kelas. Ia menjelaskan satu demi persatu penggunaan ipad, aplikasi dan aturan teknis lainnya. Yailah, orang tua kayak saya yang Ipadnya jadul sudah bingung sendiri mengikuti instruksi satu demi satu. Yah, saya lebih banyak bekerja dengan laptop ketimbang Ipad karena kecil, nggak asyik. Mau yang gede, keliatan, dan lebarrrr.

Menarik. Ia menolak dikatakan sebagai "der Weihnachtsman" atau santa klaus yang suka bagi hadiah di hari natal. Waktu itu ada yang nyeletuk, sih. Hahaha. Kami serasa jadi anak kecil yang dibagi hadiah natal, memang.

Keuntungan dan kerugian kelas tablet

Dari pembagian Ipad pinjaman dua tahun tadi, ada beberapa hal yang saya catat setelah menggunakannya selama berminggu-minggu pertama. Ngomong keuntungannya dulu paling enak. 

Tentunya pertama, lebih ramah lingkungan. Tadinya kalau tiap mata pelajaran selalu dibagi kertas dari guru, sekarang tinggal pencet di Ipad sudah ada bahan yang bisa dibaca tanpa print atau menunggu dari guru.

Kedua, jadi ikut siswa modern karena teknologi itu terus berganti kalau nggak ikut terlindas zaman digital yang sudah nggak analog lagi. Diharapkan ini akan menghasilkan generasi yang siap dengan segala sesuatu yang canggih, digital dan international. Generasi 4.0?

Ketiga, semua data disimpan di icloud, kalau hilang di hardware, masih ada backupnya.

Keempat, menjadikan siswa kreatif. Misalnya banyak program di Apple yang bisa diunggah untuk mendukung pelajaran. Contoh membuat skema, presentasi dan sejenisnya.

Berikutnya, keburukannya. Namanya teknologi, nggak semua orang suka. Ada yang masih menyukai sesuatu yang klasik. Entah itu siswa atau guru, ada yang kontra dengan kelas tablet. Pusing, katanya. Jadinya program ini agak terhambat dengan kubu yang anti.

Namanya di Jerman, nggak ada paksaan, semua merdeka. Jadi tidak di semua mata pelajaran bisa menggunakan Ipad gratisan ini. Gurunya nggak siap.

Selanjutnya, kedua, kadang ada kesalahan teknis. Bisa saja dari kami ber 30, ada 5 Ipad yang tidak berfungsi secara maksimal dan harus ekstra diutak-utik oleh teknisi kampus. Nunggunya pakai lama, jadi nggak bisa ikut kelas tablet, dong. Ndomblong.

Ketiga, karena Ipad membutuhkan energi, tetap nggak bisa dipakai kalau lupa dicharge. Haaa namanya orang lupa charge di rumah, begitu di kelas mau dipakai yaaaa low batt, dan kabel tidak sepanjang meteran tukang. Stop kontaknya jauh dan hanya beberapa, nggak bisa buat rebutan.

Keempat, guru tidak bisa mengecek, apakah murid benar-benar sedang mengerjakan tugas atau menyimak pelajaran selama menggunakan Ipad, atau mereka melihat youtube dan sejenisnya melalui internet karena Ipad mendapatkan wiffi gratis dari sekolah. Nah, lho. Capek, kontrolnya.

Dan masih banyak lagi.

***

Dulu waktu nonton TV, ada reportase kelas digital/tablet kalau nggak salah kelasnya proyek Bill Gates, saya ngakak dan yakin pasti saya nggak bakal jadi seperti mereka dalam hidup ini. Mimpi kali, ye. Rupanya, Tuhan memang Maha Baik dan penuh Mukjizat. Garis nasib berkata lain. Saya jadi murid digital. Dikasih sangu tablet, nih. OMG.

Dari pengalaman saya menjadi salah satu dari kelinci percobaan kelas digital, kelas tablet tahun 2021, banyak hal yang saya pelajari. Semoga ini menjadi gambaran bagi sekolah di tanah air yang akan mengadopsi kelas tablet seperti ini. 

Ada kelebihan dan kekurangan dari kelas canggih ini. Semoga makin siap, supaya manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya, supaya generasi kita minimal nggak kalah dengan negara-negara tetangga yang sama-sama makan nasi.

Sungguh. Kadang saya iri, mengapa di Indonesia tidak seperti di Jerman, di mana generasinya dimanjakan dengan fasilitas, perlindungan, kesejahteraan, dan entah apalagi keistimewaan yang di negara kita susah dapatnya. Berdarah-darah.

Mungkin Allah belum kasih rezeki. Namun, kita harus yakin suatu hari nanti pasti Indonesia akan semaju Jerman. "Entah lusa atau di lain hari." Semangat.

Salam digital. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun