Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya Baru Tahu, Jinsu Sayang Baby

21 September 2020   22:59 Diperbarui: 21 September 2020   23:41 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namanya Jinsu. Bocah keturunan Korea ini sudah sejak saya praktikum di sebuah TK selama 5 minggu saya kenal. Begitu corona, tak ada kesempatan lagi bertemu dengan bocah 2,5 tahun yang pipinya chubby itu. Sumpah, kangen banget sama bocah yang mengingatkan saya pada Bo Bo Ho. Gemes.

Tuhan memang Maha Mendengar. Bulan Juli, TK mulai dibuka. Saya kembali praktikum 1 minggu, melengkapi 6 minggu yang disyaratkan Ausbildung, program sekolah sambil kerja yang saya jalani mulai September tahun ini. Artinya, ketemu Jinsu lagi. Horeee ....

Malu-malu atau malu-maluin?

Setiap anak memang diciptakan berbeda. Ada yang malu-malu, ada yang malu-maluin. Kalian pilih tipe yang mana?

Seperti Jinsu. Awalnya, ia malu-malu dengan saya. Kalau saya sapa, ia akan menundukkan kepala dan pura-pura tidak melihat saya tapi rupanya sambil matanya melirik untuk meyakinkan apakah saya masih ada di depannya atau sudah menghilang.

Kalau saya mau pergi, ia akan mengikuti sampai pintu ditutup dan mengintip dari jendela. Idih, malu. Meskipun begitu, saya tak pernah jera menyapanya, meski tidak ada sambutan seperti yang saya harapkan. Tipikal anak-anak Asia memang pemalu. Betul?

Oh, lama-lama, dia ini ternyata malu-maluin. Kalau saya datang. Dari jauh ia sudah berteriak "Ganaaaa ..."

"Pssst ... jangan keras-keras. Banyak orang di taman dan penduduk setempat bisa terganggu." Mata saya menyapu ke seluruh penjuru. Maklum, TK dikelilingi perumahan penduduk. Kalau sedang pada tidur siang atau di Jerman sering disebut Schoenheitschalf, kasihan kan.

"Gana", panggilan itu membuat saya merasa berarti. Ada, ya anak yang kangen sama saya. Aduh, nyes. Ini artinya ada kepercayaan dari si anak kepada saya pendatang baru, sudah diberikan. Untuk orang asing dan baru seperti saya, itu adalah sesuatu.

Begitu pula kalau di kebun. Jinsu sering malu-maluin. Karena tiap kelas kadang keluar ke kebunnya tidak bersamaan, jika kelas Jinsu keluar dulu baru kelas kami, begitu ia melihat saya nongol, langung ia berlari menjemput saya sambil berseru "Ganaaaa ...." Semua mata akan memandang kami. Ada apa dengan Jinsu dan Gana? Hahaha.

Tiap anak di bawah 3 tahun dianjurkan tidur siang

Padahal ingat sekali pertama kali saya jagain dia tidur siang bersama kawan-kawan, ia selalu malu. Anak TK umur 3 tahun ke bawah memang diwajibkan untuk istirahat. Tidak tidur asal merebah, tidak masalah. Seperti HP, anak-anak harus dicharge. Iya, dengan tidur, sehingga organ tubuh tak perlu bekerja dan pikiran rehat sejenak.

Nah, Jan guru kelas sudah menemaninya tidur sejak pukul 12.00. Pukul 13, setelah saya makan siang, saya gantian yang jaga supaya Jan bisa istirahat. Sistem istirahat dengan shift seperti ini bagus supaya anak-anak tetap dalam pengawasan. Namanya juga masih di bawah umur, bisa saja sesuatu buruk terjadi kalau kita teledor.

Entah mengapa waktu itu, tiba-tiba Jinsu terbangun. Dari tempat tidur tingkat dengan dinding plastik fleksi, ia memandangi saya sambil duduk bersila. Tidak ada kata yang terucap dari mulutnya yang mungil. Saya yang lagi duduk di kursi malas dengan sebuah buku segera berdiri mendekatinya.

"Tidur lagi, ya. Jam tidur dari jam 12-14. Masih satu jam.OK?" Saya mengingatkannya tentang aturan jam tidur anak di bawah 3 tahun.

Ia menggeleng. Tapi tak berapa lama, kembali merebah dan tertidur. Mungkin ia kecapekan hari itu. Senyum saya mengembang. Syukurlah, ia kembali tidur dan tidak membuat kegaduhan yang berarti, supaya tidak membangunkan teman-temannya yang sedang tidur. Saya pun bisa aman meneruskan bacaan.

Berdarah lalu nangis, bukan anak laki-laki namanya!

Setengah jam lagi ibu dari Luciano akan menjemput. Saya ajak Luciano dan Jinsu ke ayunan berbentuk kerajang. Mereka berdua ada di dalam keranjang, saya tukang ayunnya. Melihat bagaimana Jinsu memeluk Luciano supaya balita tidak jatuh membuat saya sakit perut menahan tawa.

Dan benarlah, mama Luciano datang. Jinsu sudah berteriak:

"Baby tidak boleh pulang. Baby main sama aku." Matanya yang sipit terbelalak.

"Tapi Luciano sudah capek dan ngantuk, mau sama mama di rumah." Berharap kalimat saya bisa dicerna balita bertopi Mickey Mouse itu.

Jinsu mau mewek. Tapi saya ingatkan bahwa Luciano akan datang lagi besok, jagi tak perlu menangis. Bukankah anak laki-laki harus gentel dan sebaiknya tidak mudah menangis untuk hal sepele.

Jinsu meneruskan acara main di taman bola, di bawah prosotan. Saya mengambil minum. Kalau mengurus anak-anak kadang suka lupa minum. Bisa bahaya kalau dehidrasi, makanya segera begitu ingat saya ambil minum di kelas.

Saat kembali, Jinsu terjatuh saat naik dinding taman bola itu. Guru lain yang ada di taman tidak ada yang melihatnya. Segera saya ambil plastik berisi gel biru untuk mengompres pendarahan. Tak banyak darah yang keluar tapi kebiasaan anak-anak TK situ memang begitu. Efek Placebo itu membuat mereka merasa tak sakit lagi kalau jatuh atau berdarah. Sama dengan si Jinsu.

Ia memang tidak menangis, karena tadi sudah saya pesan bahwa tak perlu menangis. Lukanya tidak parah. Hanya ada setitik darah dari gusi karena ada benturan antara gigi dengan papan.

"Tidak apa-apa. Semua sudah lewat. Lain kali hati-hati kalau naik. Kalau tidak bisa naik, mending tidak usah naik nanti bisa celaka." Nasehat saya.

Pelukan hangat saya hadiahkan padanya supaya ia tahu ada seseorang di sisinya Ketika ia dalam keadaan tidak menyenangkan. Dan ternyata pelukan itu meninggalkan noda flek merah di baju warna kuning.

"OMG, kamu berdarah Gana." Teriak Jan.

"Bukan, tadi Jinsu jatuh dan aku memeluknya supaya ia tidak menangis." Sembari berlalu menuju washtafel untuk mengelapnya dengan kain basah.

Jinsu sayang baby

Ai-ai. Polah Jinsu selalu menarik perhatian saya. Enggak tahu, ya, mengapa bagi saya, ia istimewa. Ia tipikal anak  laki-laki betul tapi ternyata hatinya princess. Saya suka itu.

Suatu hari, senang rasanya begitu tahu bahwa Jinsu anak semata wayang itu juga sayang banget sama anak bayi.

Awalnya, di kelas kami ada 5 anak baru. Artinya ada ekstra waktu dan energi bagi kami, supaya anak-anak baru itu mau masuk TK dan tidak ingin pulang untuk tinggal di rumah saja bersama mamanya. Namanya Eingewoehnung. Saya akan cerita kapan-kapan tentang tradisi yang sudah trend di TK Jerman sejak 1980 an itu.

Nah, ada seorang anak umur 1 tahun yang belum bisa berjalan yang dimasukkan orang tuanya ke TK kecil. Namanya Luciano. Badannya segar berisi, wajahnya selalu ceria, matanya bulat. Melihatnya seperti diterpa angin surga, seger.

Nah, karena tiga guru kelas sedang repot memegang atau menemani anak-anak baru, saya pegang Luciano yang meskipun berat tapi banyak yang rebutan ingin menggendong. Salah satunya adalah saya.

Ketika saya membawa Luciano ke kebun, seperti biasa, mata Jinsu seperti elang melihat tikus. Hap, dia berteriak dan berada di depan saya.

Ia tertegun. Saya tidak sendiri, ada bayi di pinggang saya. Lalu saya perkenalkan Luciano pada Jinsu. Mata Jinsu mengamati detil bayi. Mulutnya menganga, terpana sekali dengan pemandangan yang ada di matanya. Buntutnya, Jinsu selalu mengikuti kemana saja kami melangkah. Ah, lucu.

Sampai suatu detik saya mengambil tisu supaya mengelap ingus seorang anak yang lain. Saya minta Jinsu untuk menjaga Luciano selama saya pergi ke seberang. Saya ingin, ia seperti kakak yang menjaga adik.

Dari jauh, saya mengawasi dari kotak tissue. Saya mau ngakak, betapa Jinsu sangat menyayangi si bayi.  Dielus-elus, dipeluk.

"Tapi jangan kenceng-kenceng, ya?" Pesan saya saat kembali, "Bayi masih kecil, mungkin saja ia tidak suka diperlakukan begitu atau kesakitan karena terlalu kenceng dipeluk."

***

Dari cerita Jinsu ini, saya jadi berpikir, bahwa seperti kata pepatah Jerman "Um ein Kind zu erziehen, brauchen wir den ganzen Dorf" atau  untuk mendidik seorang anak, butuh seluruh desa untuk berpartisipasi demi kesuksesan pendidikannya.

Jika pendidikan anak-anak yang dititipkan di sebuah TK itu hanya dipasrahkan kepada guru TK tetapi di rumah tidak dididik, tidak diatur, tidak dinasehati, pendidikan di TK oleh para guru akan sia-sia. Selain guru dan orang tua, masyarakat dan pemerintah harus punya andil besar pada pendidikan si anak. Semua harus lurus, jangan belak-belok. 

Jika anak-anak di TK banyak dikenalkan pada aturan, nilai dan norma tapi di rumah seperti raja, apa yang sudah diberikan guru tidak akan diresap dengan baik dan benar alias rancu. Kompasianer setuju?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun