Lama perjalanan dari Jerman-Swiss-Sampai Indonesia yang dua hari semalam meskipun pakai pesawat memang sangat melelahkan. Namun rasa capek itu hilang begitu detik-detik melihat keindahan Raja Ampat di depan mata.
Dari Makassar, kami terbang ke Sorong. Memakan waktu hanya 2 jam 15 menit, kami tiba di sana. Di bandara DEO alias Dominique Eduard Osok, kami disambut dinding bergambar gadis suku asli dan pemandangan yang menarik. "Welcome to Domine Eduard Osok Sorong" atau "Selamat Datang di Bandar Udara Domine Eduard Osok Sorong."
Mengambil dua bagasi di antara putaran mesin, kami keluar bandara. Ah, sudah ada yang jemput. Hari sudah sore, kami diantar ke hotel paling bagus di Sorong. Saya mungkin terlalu berharap bertemu dengan resepsionis yang gandes luwes dan ramah, mata saya menatap si pria. Hmmm, memang beda. Malamnya, kami jalan-jalan menjelajahi kota.
"Saya harus antri subuh untuk beli solar. Stok sering habis, makanya harus cepat-cepat beli." Terang seorang sopir angkota yang mirip Daihatsu Semarang yang kami tumpangi. Warnanya, kuning bukan oranye.
Karena tak ada asisten, sopir mengaitkan pintu dengan seutas tali, supaya mudah ditarik dan tak lari-lari. Ia bilang harga transport Rp 20.000 per orang dan untuk pesanan khusus yang tidak termasuk rute bisa berawal dari Rp 50.000 sampai ratusan ribu, tergantung ke manan. Untuk ukuran Eropa, masih murah tetapi bukan untuk harga standar transportasi umum Indonesia. Kepala saya menggeleng.
"Mengapa bisa begitu? Bukankah di Sorong ada kilang minyak Kasim yang menghasilkan minyak mentah ribuan barel? Artinya kalau dulu didatangkan dari Kalimantan, sekarang sudah bisa mandiri." Saya protes. Sebelum datang ke Sorong, saya sempat baca-baca karena heran harga BBM di sana selangit sehingga mengakibatkan wisata ke Raja Ampat tidak bisa murah-meriah. Harga yang menurut saya tidak bisa dinalar.
"Buk, itu minyak mentah nggak bisa langsung pakai kendaraan bermotor. Kalau diolahnya di Jakarta lalu harus ke Sorong lagi, ya lama dan mahalllll," terang suami saya.
Kami sudah sampai di jalan Yos Sudarso, Kampung Baru, sebuah tempat yang katanya menarik hati untuk dikunjungi turis. Tembok Berlin, namanya. Berlin adalah ibukota Jerman, tempat saya merantau. Mengapa ada nama Tembok Berlin di Sorong? Bagaimana gambaran sekat yang menjadi pembatas itu? Miripkah dengan di Jerman? Apakah sudah runtuh atau masih berdiri? Siapa yang ada di sana?
Semua terjawab sudah di antara remang-remang malam. Dasar sudah rabun senja, mata saya kurang jelas memandangi apa saja yang ada di kawasan wisata local yang kondang itu.
"Lho, mana temboknya?" Kaki saya menaiki pembatas yang biasa diduduki orang. Seng yang menutupi proyek reklamasi pantai itu mengajak mata saya menangkap sebuah alat berat, beberapa mobil proyek dan segelintir orang di seberang sana.