Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Imunisasi Anti Kanker Rahim untuk Gadis di Bawah Umur

20 Mei 2019   17:45 Diperbarui: 20 Mei 2019   20:26 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vaksin Anti Kanker Rahim untuk Anak Gadis kami | dokpri

Anak-anak alergi, semua bentol-bentol merah. Karena anak-anak merasa terganggu dan saya khawatir ada apa-apa, segera saya bawa ke praktek dokter umum di kampung.

Untung saja, boleh tanpa janji alias Termin. Ya, begitulah di Jerman kalau mau ke dokter harus pakai janji. Sudah janji saja, ya ampuuun... dapat jadwalnya bisa 2-3 bulan berikutnya. Sebellll. Kecuali kalau sakit parah, langsung ditangani dokter. Nah, setelah menunggu 1 jam, kami dipanggil di kamar sebelah kanan. 

"Di rumah punya hewan piaraan?" Tanya dokter berambut cepak dan berkacamata minus itu. Dokter berasumsi itu gara-gara alergi hewan piaraan, entah kucing atau anjing. 

"Nggak, dok, tetangga ada, sih yang punya. Kadang si kucing atau anjing mampir ke tempat kami atau anak-anak yang ke sana." Mata saya melirik pada anak-anak, mereka menunduk. Memang paling bandel kalau dikasih tahu mamanya. 

"Bisa jadi ini karena alergi. Dulu-dulu juga pernah bentol merah?" Bu dokter tersenyum sambil memeriksa kartu data anak-anak. 

"Kayaknya begitu, karena di lemari obat ada Cetrizin." Cetrizin adalah obat anti alergi yang kartonnya putih dengan gambar ungu. Seingat saya, dokter yang lain sudah memberikan resep itu ketika anak-anak masih kecil. Artinya, memang bisa dari hewan perantara si bentol nempel di kulit anak-anak. Peringatan dokter membuat saya senang karena memang dari dulu saya nggak suka ada hewan di dalam rumah, selain repot juga kotor dan tidak sehat. Anak-anak sedih. 

Sebelum pulang, dokter berpesan supaya anak-anak gadis kami (10 dan 13 tahun) disuntik anti kanker rahim. Hah? Nggak salah? Anak-anak menstruasi saja belum, kok, sudah diimunisasi yang berhubungan dengan organ vital mereka? Bukankah itu penyakit yang ditularkan dari berhubungan intim? Saya mau diskusi sama suami dulu. Enaknya bagaimana. Saya janji akan kembali lagi ke tempat praktek dokter. Dokter mengangguk. Masih banyak waktu. 

Imunisasi anti kanker serviks
Sesampai di rumah kami berdiskusi, suami setuju. Pertimbangannya bukan karena anak-anak di bawah umur 14 tahun suntikannya gratis, kalau sudah di atas usia itu harus bayar sendiri karena tidak ditanggung askes. Sebabnya, penyuntikan pada anak-anak di bawah 14 tahun, hanya butuh dua kali suntikan dengan interval 5-6 bulan. Sedangkan anak-anak yang sudah dewasa harus tiga kali. 

Namanya anak, mana hobi disuntik? Sudah pada takut. Jadi daripada disuntik 3 kali, disuntik 2 kali saja sudah cukup. Ketiga, tinggal di Jerman dengan pergaulan yang macam-macam, takut juga kalau anak tidak dilindungi. Tindakan preventif itu saya kira bagus, bukan demi memotivasi bahwa kalau berhubungan seks di luar nikah itu didukung 100%, bukan. Suntikan demi kesehatan dan perlindungan pada anak-anak. 

Untuk proses vaksinasi, anak-anak harus dibawa lagi ke dokter praktek lagi untuk meminta resep. Resep diambil di apotik terdekat dengan membawa kartu asuransi kesehatan.

Sesampainya di rumah, bisa langsung ke dokter untuk disuntikkan kepada anak, jika tidak dua tabung kecil itu harus masuk kulkas supaya tidak rusak. Masa kadaluwarsa vaksin adalah sampai Juni 2021 atau kira-kira 2 tahun. Yang saya ingat tentang pesan dokter yakni, jika anak sedang dalam kondisi kurang fit seperti batuk, demam, pilek, proses imunisasi harus ditunda. Kalau dipaksakan, kata dokter, bisa saja nggak mempan dan sia-sia belaka. 

Hari berjalan begitu cepat. Seminggu kemudian, kami kembali periksa. Dokter menyuntikannya di lengan anak-anak. Karena anak-anak sudah rewel takut disuntik, dokter berbagi trik. "Kalau aku akan menyuntikkannya di lengan kalian, batuklah. Uhuk-uhuk-uhuk. Supaya kalian nggak merasakan suntikan jarum." Tips jitu, manjur!

Aduh, jangankan anak-anak, saya saja paling benci disuntik. Imunisasi selesai. Dokter memberikan tabung dengan stickernya untuk dibawa ke rumah. Ah, bukannya itu sampah? Iya, sih, karena saya lupa bawa buku imunisasi anak-anak, saya diharap menempelkan sendiri di sana nanti. Agar sticker tidak rusak, dokter tetap menempelkannya di bagian luar tabung. 

Sticker sudah menempel, tabung sudah masuk sampah, tanda tangan dokter dan cap praktek dokter saya susulkan beberapa minggu kemudian. Sekilas saya baca buku kuning itu, ah, banyak sekali imunisasi anak orang Jerman. Apakah di tempat kita dulu begitu? Saya ingat cuma disuntik sekali dua kali waktu sekolah. 

Begitulah Jerman, semua rapi, semua diatur sedetil mungkin dan tidak boleh ada yang terlewat. Betapa tidak, anak-anak di bawah umur 18 tahun sudah diimunisasi anti kanker rahim atau Gebrmutterhalskrebs (HPV) Impfung. 

Pergaulan Bebas Vs Vaksinasi 
Sekali lagi, saya mengiyakan anjuran dokter untuk memberikan imunisasi anti kanker rahim pada anak-anak kami, bukan berarti mendukung mereka nanti boleh melakukan pergaulan bebas sebelum menikah. Tidak.

Di rumah kami masih ada aturan pemisahan kamar laki-laki dan kamar perempuan jika ada teman-teman anak-anak yang menginap. Atau tidak boleh memasukkan teman laki-laki di dalam kamar. Jika bermain bersama di luar rumah, atau di ruang tamu. Semua diawasi satpam pribadi (red: saya, suami mana sempaaaat).

Berhubungan seks sebelum menikah itu tabu, saya jelaskan pada mereka bukan saja karena agama tetapi juga supaya masa depan nggak suram. Serem kalau anak punya anak tapi belum siap atau nggak bahagia karena masih terlalu bau kencur.

Kalau ada yang salah, yang nanggung nggak hanya anak tapi juga bapa kepradah, orang tua. Sebagai orang tua, harus bermain layang-layang. Kalau layang-layang sudah dapat angin dan bagus terbangnya, benang diulur. Jika sudah nggak stabil dan bermasalah, benang ditarik. Kendali dipegang dari bawah.

Miris saja, pergaulan di Jerman zaman now, agak berbeda dibanding zaman saya waktu di Indonesia. Coba deh, simak percakapan dua orang anak umur 12 tahun atau anak kelas 7 yang saya dengar akhir-akhir ini. 

" Kamu mau melepas keperawananmu pada umur berapa?" Tanya si A.
" Ih, kok tanyanya serem banget." Jawab si B. 

"Pacarmu nanya ke aku kemarin. Mau tanya sendiri, dia malu. Dia pengen tahu." Si A yang bertemu dengan pacar si B, menyampaikan pesan berantai. Sudah setahun B dan C pacaran. Cinta pertama, cinta monyet. 

"Baiklah. Kata mamaku, nanti setelah umur 18 tahun baru boleh." B berterus-terang.
"Ooo ... pacarmu mengira, nanti kalau kalian sudah 15 tahun. Jadi 3 tahun lagi." A salah sangka.

"Idih, enggak lah, terlalu dini. Nggak siap." Masa muda masa yang indah, lebih enak untuk dinikmati tanpa hal-hal ribet yang nggak dimengerti.

Untung saja mereka belum pernah sekalipun melakukan hubungan seks. Beberapa bulan setelah perbincangan di atas, mereka bubar jalan. 

Teman-teman. Pemberian ijin dari mama B bukan hal yang asing di Jerman. Sudah banyak anak-anak berumur 18 tahun yang meninggalkan rumah orang tuanya dan tinggal di kota lain bersama pacarnya. Kalau di tempat kita disebut kumpul kebo yang bikin telinga minta disogok, di Jerman lebih nyaman sebutannya (Lebenspartner atau teman hidup).

Lampu hijau dari orang tua banyak diberikan kepada anak-anaknya. Nggak heran jika saya periksa ke dokter kandungan setengah tahun sekali, yang antri adalah para ibu-ibu yang mengantarkan anak-anak gadisnya. Berharap semua aman terkendali. Ah, suatu hari nanti, saya juga akan begitu? 

***
Kanker rahim adalah penyakit genital yang disebabkan oleh virus HPV tipe 16 dan 18 (human papiloma virus, virus pemicu tumor ganas). Penderitanya bisa laki-laki atau perempuan. Hanya saja, perempuan lebih beresiko tinggi. Penularannya adalah dari berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, hingga muncul kutil di alat kelamin, nyeri, berdarah dan gejala lainnya. 

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Global Cancer Observatory, Indonesia ranking dua di dunia, sebagai negara yang memiliki kasus kanker rahim tertinggi dan korban yang banyak. Semoga penyebaran info dan penggalakan imunisasinya terutama pada wanita, semakin gencar dari Sabang sampai Merauke. Anda setuju? 

Itu tadi pengalaman saya mengantarkan anak-anak untuk disuntik anti kanker rahim. Semoga tulisan ini menginspirasi dan bermanfaat. Apakah anak-anak perempuan Anda sudah divaksin anti kanker serviks? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun