Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mewarisi Karakter Baik Ibu adalah Hadiah Terindah

3 Januari 2018   23:59 Diperbarui: 4 Januari 2018   03:00 1355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oh, ya. Yang paling mengesankan adalah ketika akan pindah ke Jerman, ibu menghadiahkan sajadah kecil dan satu set mukena cantik motif bunga-bunga. Tentu saja saya terperanjat karena saya tahu itu harganya mahal dan ibu lebih memerlukan. Apalagi saya masih menyimpan hantaran lamaran pra pernikahan, seperangkat alat sholat dari tunangan dan suami saya. Yang lama pun masih banyak.

Kata ibu, tidak apa-apa, itu untuk menyemangati saya selalu ingat Allah selama di Jerman yang jarang ada mushola atau masjid. Kalau di Semarang, mushola hanya satu menit. Suara adzannya juga terdengar setiap hari, mengingatkan. Alhamdulillah, saya masih ingat sholat di luar negeri dan berani mengiyakan pertanyaan Syahrini, "Masih sholat 5 waktu, kan?"

Itulah ibu saya, selalu baik dan memberikan apa yang dipunyai dan berharga untuk saya. Untuk menolaknya, saya selalu tidak tega karena takut melukai perasaan ibu yang lembut. Makanya sebelum pergi ke Jerman, secara diam-diam mukena saya yang lama saya tinggalkan di lemari ibu. Supaya ibu tidak perlu memakai mukena tua, model lama dan lusuh ketika mendirikan sholat.

Baju merak dari ibu (dok.Gana)
Baju merak dari ibu (dok.Gana)
Kursi melahirkan, hidup-mati seorang ibu/anak (dok.Gana)
Kursi melahirkan, hidup-mati seorang ibu/anak (dok.Gana)
Hadiah Imateri dari Ibu

Hadiah yang bisa dilihat oleh mata berwujud harta benda, adalah hal yang biasa. Hadiah imateri itu baru luar biasa. Kebaikan ibu yang tidak bisa dilihat tetapi dirasakan dan dimiliki oleh seorang anak.

Begini. Dulu di kampung, sejak kecil, saya melihat sosok ibu yang sangat repot dan sibuk. Ibu tidak punya banyak waktu untuk santai dan mengurus saya serta saudara-saudara. Dengan tujuh anak dan bekerja sebagai seorang guru, tentu saja waktunya harus benar-benar dibagi. Tidak boleh ada yang dikalahkan dan segala sesuatunya harus terlaksana dengan baik. Semua serba cepat!


Melihat ibu hanya sekilas saat Subuh, siang hari ketika pulang dari mengajar dan ketika ibu kembali lagi pada malam hari sebelum maghrib atau kadang tidak melihat ibu seharian karena ada kegiatan budaya dengan bapak sampai malam dan kami sudah terlelap di tempat tidur. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, kami jarang bertemu.

Untunglah, saya juga bukan anak rumahan karena ikut banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Sehingga, meski jarang bertemu orang tua, tetap merasa gembira. Betapa tidak? Selain bersosialisasi dengan teman sebaya, banyak pengalaman yang didapat. Energi juga tersalurkan di jalur positif. Sesekali, saya dolan ke tempat teman. Alasannya selain bermain, kadang juga membuat PR, tugas atau belajar bersama.

Oh, ya. Karena sibuk, ibu biasa menugaskan pekerjaan rumah tangga kepada kami anak-anaknya. Misalnya, saya bagian belanja di warung untuk masak makan siang dan malam serta membersihkan dapur seisinya. Kakak tertua yang menyapu dan mengepel lantai rumah. Kakak yang lain mengawasi air PAM, supaya bak kamar mandi dan tong-tong penyimpan air terisi penuh dan masih banyak tugas lainnya untuk kakak-kakak yang lain. Selain hak untuk tinggal di dalamnya, setiap anak diajari orang tua, khususnya ibu, untuk tahu tugas dan tanggung jawab terhadap rumah. Setiap anak pun harus mencuci baju dan menyetrikanya sendiri. Dengan demikian, tidak ada yang bermalas-malasan, tidak ada yang dianakemaskan. Kami diajarkan untuk tahu kewajiban, tanggung jawab dan mandiri.

Mengapa tidak ambil pembantu? Ketika anak-anak ibu masih balita, ibu cerita pernah memiliki dua pembantu. Rupanya, selain meringankan tugas rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan ada efek negatif yang ibu rasakan bahwa anak-anak jadi manja dan banyak barang yang hilang. Makanya, ibu memutuskan untuk tidak mengambil pembantu lagi dan mengurus semua sendiri.

Begitu saya dewasa dan ibu pensiun, ibu widyaiswara. Sebagai PNS, ibu diperbantukan. Beliau diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab yang berbeda dengan tugas ibu yang terakhir, sebagai kepala sekolah SD. Artinya, ibu masih sibuk untuk bekerja. Kami tidak memiliki banyak waktu berdua. Setelah menikah, ibu berkurang aktivitasnya, sayangnya, saya harus pindah ke luar negeri. Lagi-lagi, kualitas waktu kami kurang maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun