Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Blusukan" di Kampung (Batik) Laweyan, Solo

4 Oktober 2017   18:16 Diperbarui: 4 Oktober 2017   18:40 4009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yeeee. Anak bungsu sudah nangis-nangis minta dipeluk, begitu lihat kuda poninya jadi gemuk lantaran garisnya ketebelan dari canting. Raungannya membuat bu Taufik yang gendong balita, prihatin dan menghapusnya dengan pisau panas. Pisau tanpa gerigi yang dibakar di kompor lalu ditempel ke lilin yang nakal. Nantinya, garis bisa dicanting ulang tapi isaknya masih kedengeran. Yaaaahh ... ini mau belajar mbatik atau mau ikut teater,  sihhh?

Setelah selesai, cantingannya diperiksa bu Taufiq, supaya nggak ada yang bolong. Semua harus tembus di balik kain. Kalau nggak, si ibu yang lucu itu mengulanginya.

Setelah gambar kering dari cantingan lilin, anak-anak memberi warna tiap gambar. Warna jreng seperti merah, biru, hijau, kuning yang dipilih.

Selang beberapa menit, anak-anak mewarnai background. Ya, dengan warna hitam  supaya kontras. Habis itu digelas, direndam di ember dengan cairan pelindung agar warna nggak ilang. Si ibu memakai tongkat untuk memutar-mutar kain. Kain terus dijemur. Anak-anak menunggu sambil makan pisang godog dan krupuk pasir, jamuan yang ada.

Tak lama, tibalah proses terakhir dengan penggodogan di kompor. Karena panas dan bahaya, anak-anak nggak melakukannya sendiri. Bu Taufiq yang sibuk. Kain dijemur lagi. Selesai!

Hasilnya, waaaaah lucu. Anak bungsu yang dari tadi cemberut, bisa senyum. Yak. Hasil bikinan sendiri memang selalu membanggakan daripada dibikinin orang.

Sebelum pulang ke hotel, suami pesan 3 blangkon ukuran 56 tiga biji, Rp 90.000 dan peta Indonesia ukuran 2x1m seharga Rp 800.000,00. Dua minggu jadi. Di Cempaka tadi ada peta sebesar itu tapi harganya 2 juting. Kalau dapat sama bagus dan lebih murah, kenapa harus bayar mahal?

Peta Indonesia harga 2 juting (dok.Gana)
Peta Indonesia harga 2 juting (dok.Gana)
***

Namanya saja blusukan. Harus punya kaki kuat buat keluar masuk. Belum lagi panas matahari yang menusuk kulit. Ugh. Bagaimanapun Kampung Laweyan ini memang sesuatu. Nggak hanya orang dewasa yang senang, anak-anak juga karena mereka sempat belajar batik hampir dua jam.

Kampung itu memang khusus dibuat pemda untuk sentra industri batik warganya. Konon, ini sudah ada sejak jaman kerajaan Pajang tahun 1500 an. Dari ratusan pengrajin batik  yang tinggal dan usaha di sana, baru 3 yang kami datangi. Waktunya nggak cukup. Lain kali lebih lama.

Bagaimana dengan Kompasianer, tertarik untuk ke Kampung Laweyan atau belajar mbatik di sana? Kalau punya anak-anak yang masih kecil, diajak sekalian. Mereka sepantasnya dikenalkan caranya, supaya kalau besar nanti jadi bekal melestarikan budaya sendiri. Siapa tahu bisa pamer ke luar negeri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun