Aturan dari klub kami; kalau dadunya menunjukkan 1, kado digeser searah jarum jam. Yang melempar dadu lalu dapat nomor 6, ia boleh menukar kado yang ada di depannya dengan kado mana saja yang disuka. Selain itu, kado tetap di tempat.
Sebenarnya ada juga wichteln dengan cara memutar botol kosong. Ada yang pakai etiket nama dan seterusnya ....
Mata saya bergantian memandangi kado-kado yang wara-wiri di meja. Aihhh ... lucu-lucu hiasannyaaa. Ada yang bungkusnya bagus, ada yang biasa, ada yang jelek. Bagus–jeleknya isi di dalamnya, siapa tahu? Namanya peruntungan. Menurut pengalaman saya tahun-tahun sebelumnya, mengamati kado yang berbungkus bagus isinya “puh“ jelek, justru yang biasa saja ... isinya “wow.“
Nahhhh ... Biasanya, saya dapat yang biasa saja isinya, bukan yang wow. Hahaha ... padahal seringkali diam-diam saya batin “senangnyaaaa melihat keceriaan wajah yang terima kado saya.“ Memang siapa yang ngasih kado adalah sebuah rahasia.
Meski ketua klub sudah wanti-wanti, kado hanya seharga 5€ saja tapi namanya orang lain-lain. Ada yang memiliki cara empati tinggi ada yang nggak. Mengumpamakan kado yang akan dihadiahkan adalah kado yang akan diterima. Kalau isinya jelek masak mau dikado ke orang. Kalau dikado orang isinya jelek nggak mau kan? Yang dilarang adalah memberi kado berisi barang yang sudah dipakai. Membuat orang lain bahagia dengan barang yang belum pernah dipakai, lebih baik. Biasanya saya nggak papa kok, dikasih barang lungsuran sudah dipakai orang, tapinya di tradisi ini barang second ... pamali! Ngomongin soal hadiah, buat saya tanpa hadiah dalam hidup ini pun kalau sudah sehat dan bahagia serta puas/pandai bersyukur ... sudah bagus. Bagaimana? Apa hadiah terindah Kompasianer tahun ini.
Selamat natal bagi Kompasianer yang merayakan. Happy holidays.(G76)