Mohon tunggu...
Gaby Ogisa
Gaby Ogisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers, Dahulu dan Sekarang

19 November 2017   23:08 Diperbarui: 19 November 2017   23:25 2308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

 

                Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diselenggarakan di Jakarta kemarin masih membahas agenda yang menjadi fokus utama para wartawan di Indonesia. Menurut data terbaru yang dirilis, indeks Indonesia dalam kebebasan pers naik enam peringkat ke 124. Tentu saja, ini pencapaian yang patut diacungi jempol seiring dengan dunia yang semakin mengakui  kebebasan pers di Indonesia yang terus mengalami kemajuan. Hal tersebut membuat kita bertapak tilas bagaimana perkembangan pers di Indonesia yang berlangsung dramatis dan penuh perjuangan.

            Ingat saja bagaimana masa kelam dan buramnya dunia pers Indonesia saat rezim Orde Baru berkuasa. Sebenarnya, pada masa awal Orba hubungan pers dengan pemerintah terjalin dengan cukup baik. Apalagi pada tahun 1966 pemerintah mengeluarkan UUPP Nomor 11 Tahun 1966 yang menjamin tidak ada sensor, pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif, dan tidak diperlukan surat izin terbit.

            "Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab". (Tebba, 2005 : 22)

            Namun semuanya tidak berjalan sesuai harapan. Hubungan yang baik itu hanya berlangsung 8 tahun dan seterusnya adalah masa-masa berat pers Indonesia. Pers dan mahasiswa-mahasiswa lambat laun mencium pemerintahan yang bobrok dan mulai mengkritisi rezim Soeharto. Surat kabar berisi kritikan atas pemerintah yang korup, kolusi, dan nepotisme. Selain itu pers melihat gaya kepemimpinan Soeharto yang memberantas kebebasan rakyat, dimana otomatis lambat laun pemerintah juga akan merenggut kebebasan pers dalam berpendapat dan mengkritisi. 

Tentu saja, melihat hal ini pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah mulai membredel surat kabar yang isinya mengkritisi mereka dan menuliskan hal miring perihal kinerja mereka. Bahkan pemerintah sampai meluncurkan SIUPP yang harus dimiliki oleh setiap lembaga penerbitan jika mereka masih ingin bertahan. Dimana surat ini mengendalikan pers untuk tidak memberitakan kabar buruk Orba dan hanya memberitakan hal baik semacam propagada tersendiri.

            Jelas di sini hak asasi tidak diakui dan rakyat seperti dikendalikan oleh pemerintah yang ditaktor. Meski demikian, era keterbukaan semakin sulit dibendung yang telah mengakibatkan berkembangnya dunia pers. Masyarakat semakin berwawasan dan berilmu ditambah pers Indonesia yang seperti tak mengenal mati melawan pemerintah yang menjijikkan. Maka tuntutan akan adanya demokrasi pun merebak dan pers memiliki peran besar dalam menyebarkan gagasan demokrasi pada khayalak luas. Tuntutan pun memuncak dan menghasilkan tergulingnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.

            Lalu apakah di era reformasi ini pers sudah bebas dan jauh dari keecaman pemerintah? Belum, saya rasa. Kita masih bisa menjumpai banyak media yang dikendalikan oleh beberapa pihak berkuasa untuk mengumpulkan dan mempengaruhi massa. Bahkan ada yang dengan sengaja menjatuhkan salah satu kubu dalam pemerintahan. Di sisi lain, kekerasan pada wartawan juga tak luput dari agenda yang dibicarakan saat memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia kemarin. Di Indonesia sendiri misalkan. 

Polisi menganiaya wartawan hingga menyebabkan trauma psikologis pada wartawan yang besangkutan. Lalu saat kasus ini dilaporkan pada pihak yang berwenang, tidak ada kelanjutannya. Seperti dianggap angin lalu dan saya merasa ada pihak luar biasa yang ikut andil dalam kasus kekerasan pada wartawan ini. Pemerintah juga dinilai kurang sigap dalam melihat masalah ini.

            Sangat disayangkan mengingat pers adalah salah satu alat penghubung antara rakyat dan pemerintah yang setidaknya masih bertindak jujur dan polos. Kebebasan pers sangat membantu masyarakat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan pemerintah dan apa yang terjadi di dalam negaranya. Namun patut diwaspadai juga, kebebasan di sini tetaplah mengikuti kode etik pers dan bukanlah kebebasan yang tanpa batas, namun juga menuntut pertanggung jawaban atas berita yang disiarkan.

              

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun