Ia pun bangun dan melanjutkan perjalanannya. Anehnya, saat ia dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang teman lama. Ia duduk sebentar dan mengobrol dengan temannya. Sedikit kehangatan di balik dinginnya salju. Ia bercerita bagaimana dia bisa selamat dari kejaran Jerman, minum 30 butir pil sabu. Hingga perlahan-lahan, suara temannya meredup. Wajahnya menghilang ketika ia sapa. Halusinasi lagi! Masa iya bisa bertemu teman di hutan salju Rusia? Naasnya, tidak cuma temannya yang hilang, tas dan senapannya pun tidak sengaja ia tinggal di tengah hutan. Ia pun melanjutkan perjalanan.Â
Saat di perjalanan, suara gemeresik di balik semak-semak terdengar. Ia coba hiraukan tapi tak dapat. Karena dari dalam semak-semak muncul seekor serigala besar yang lapar mencoba untuk memakannya. Ia berusaha melepaskan diri dari serigala itu.. Ia tak lagi punya senjata. Ia ambil kompasnya dan ia pukulkan kompas besi itu pada tengkorak serigala lapar itu. Ia pun sadar bahwa serigala itu pun bukan serigala, hanya pikirannya yang memainkan persepsinya sendiri. Yang ia pukul-pukul adalah potongan pohon hutan. Sekarang, kompasnya rusak. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi.Â
Di perjalanan ia menemukan kabin hangat kosong. Ia pun beristirahat di situ sambil menyalakan api unggun, di dalam ruangan. Ya, Aimo masih ada di bawah pengaruh Pervitin. Ia merasa seperti di dalam sauna, untuk sementara. Hingga akhirnya kabin itu kebakaran. Untungya ia terbangun dan keluar kabin dan melanjutkan perjalanannya.Â
Setalah bergerak menggunakan skinya lagi, ia menemukan jalan tua menuju Barat. Ia pun ikuti jalan itu hingga bertemu kamp Jerman. Betapa kegirangan hatinya. "Gr Gott!!" ---yang adalah salam dalam bahasa Jerman--- sapanya sambil berteriak pada kamp itu. Â Tidak ada siapa-siapa di situ. Â Â
Ia pun masuk, mencari suplai makanan yang tersisa. Atau mungkin senapan yang bisa ia gunakan untuk berburu. Tapi nihil, semua sudah di bawa oleh para tentara yang menghuni kamp itu. Sampai akhirnya ia berjalan menuju suatu kabin di kamp itu. Ia berusaha mendekat dan "DOR!" ranjau meledak di kakinya. Dunia tiba-tiba menjadi putih dan suara berdengung memenuhi telinganya. Ia terhempas beberapa meter dan tergeletak di tanah. Kaki kanannya luka parah---ranjau darat.Â
Aimo meraung, tapi tidak ada suara yang menjawab. Ia tahu, jika ia tinggal di sana, ia akan mati. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia membalut lukanya seadanya, dan mulai menyeret dirinya keluar dari kamp. Ia tak bisa berdiri, jadi ia merangkak. Salju yang dingin kini justru menjadi penyegar dari rasa sakit yang luar biasa.Â
Hari berikutnya, Aimo menemukan seekor burung kecil. Entah bagaimana, ia bisa menangkap burung itu dan memanggangnya dengan api kecil dari ranting kering. Itu satu-satunya makanan nyata yang ia punya setelah keluar dari kamp Jerman. Setelah itu, ia hanya mengandalkan rebusan pinus lagi.Â
Tubuhnya kurus kering, berat badannya turun drastis. Ia menunggu di kamp itu hingga akhirnya, ia ditemukan oleh regu patroli Finlandia yang sedang menjelajahi area itu. Mereka kaget melihat Aimo yang tampak seperti hantu hidup, tetapi masih sadar dan bisa bicara (meski agak ngelantur). Â
Namun, karena kondisi geografis dan misi mereka, regu tersebut tidak bisa langsung membawanya pergi. Mereka meninggalkannya dengan persediaan tambahan dan bergegas kembali ke markas untuk melapor dan meminta bantuan. Aimo kembali sendirian di kamp itu, kini dengan harapan baru.Â
Beberapa hari ia menunggu. Ia sempat melihat pesawat melintas di atasnya dan dengan semangat luar biasa, ia mengayunkan stik skinya tinggi-tinggi, berharap seseorang dari atas melihat. Ia bahkan membuat tanda di salju, meski tangannya hampir membeku.Â
Dan akhirnya, setelah hari-hari yang panjang dan dingin, ia melihat siluet manusia datang dari balik pepohonan. Regu anti-ranjau dan tim penyelamat dari Finlandia datang, dipimpin oleh teman-temannya sendiri. Mereka memeriksa tanah sekitar, memastikan tidak ada ranjau tersisa, dan dengan sangat hati-hati mengangkat Aimo dari tanah.Â