Waktu Imam Khomeini menyebut Amerika sebagai Setan Besar, dunia Barat tersinggung setengah mati. Katanya itu kasar. Tidak diplomatis. Tidak modern.Tapi coba bayangkan begini: kamu lagi ngobrol baik-baik, eh rumahmu dibakar, dompetmu diambil, tetanggamu disuruh pukulin kamu, dan pas kamu marah... si pelaku malah ngajak pelukan, bilang: "Ayo dong, move on."
Iran tidak lahir dari kafe-kafe Paris atau lobi hotel bintang lima di New York. Ia lahir dari jalanan revolusi yang berdarah-darah. Dari rakyat yang muak terhadap Shah yang bertahta tapi dikendalikan dari Washington. Maka, jangan heran kalau gaya diplomasi Iran gak bisa dipaksa masuk folder "Western Playbook." Bagi mereka, diplomasi bukan soal basa-basi, tapi soal martabat dan harga diri.
Sejak 1979, hubungan Iran-Amerika seperti dua orang mantan yang enggak saling follow, tapi si mantan satu itu terus stalking dan tak tahu diri.
Waktu Shah dijatuhkan dan melarikan diri, Amerika malah menyambutnya hangat---lengkap dengan pengobatan VIP dan tempat tinggal nyaman.
Bagi rakyat Iran, itu seperti melihat maling kabur dan polisi malah ngasih selimut.
Gak butuh waktu lama, mahasiswa Iran ambil alih Kedutaan Besar AS. Dunia nyebut itu krisis sandera. Iran nyebutnya "membersihkan sarang spionase dan mengembalikan martabat yang dirampas."
Lalu Amerika membalas dengan membekukan aset miliaran dolar milik Iran. Kamu baru 'ngareunghap' merdeka, baru mau tarik napas sebentar, tahu-tahu ATM kamu dibekukan mantan yang dulu nyuruh kamu ngutang.
Tak cukup sampai di situ. Amerika malah mendukung Irak di bawah Saddam untuk menyerang Iran.
Iran dihantam rudal, disiram gas kimia, dan tetap dijatuhi sanksi.
Dan diam-diam, perusahaan Barat yang katanya "pembela hak asasi manusia" ikut kirim bahan kimia ke Baghdad. Teheran gak cuma kesal---dia hafal semua nama-nama perusahaan yang ngirim bahan kimia ke Baghdad. Percayalah, mereka punya ingatan seperti kakek-kakek penyimpan kuitansi.
Yang paling perih adalah tragedi 1988: sebuah pesawat sipil Iran ditembak jatuh oleh kapal perang Amerika.
290 orang tewas. Termasuk anak-anak. Dan reaksi Amerika? Bukan minta maaf, malah ngasih medali ke kaptennya. Iran cuma bisa mengelus dada sambil bilang: "Begini ya, cara kalian bicara perdamaian?"
Masuk ke era 2000-an, muncul wacana baru: perjanjian nuklir. Amerika bilang, "Ayo, kita duduk bareng, saling percaya." Iran nurut. Fasilitas nuklir dibuka, inspeksi diterima, dan semua syarat dijalani. Tapi tiba-tiba Amerika ganti presiden... dan keluar dari perjanjian. Sanksi dikembalikan, dan Teheran dituduh macam-macam lagi.