Mohon tunggu...
Fulgensius A. Dhosa
Fulgensius A. Dhosa Mohon Tunggu... Penulis - Fiat Justitia Ruat Caelum, Salus Populi Supreme Lex

Hasta La Victoria siempre

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Pangan, Jalan Senyap Kaum Marginal

12 Juni 2020   18:30 Diperbarui: 13 Juni 2020   12:39 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Desa Warikeo diambil dari Wikipedia

Menemukan jenis tanaman, teknik serta pola dan sistem menanam terbaik tidak lepas dari inovasi dan perjuangan sulit anak – anak muda, setelah beberapa dekade terakhir kondisi ekonomi pertanian desa, berada di fase yang beku dan dinamis tanpa perubahan berarti. 

Melihat kondisi jauh kebelakang, sebelum menekuni tanaman pangan Holtikultura, masyarakat Warikeo maupun hampir semua desa di wilayah sekitarnya, hanya mengandalkan tanaman musiman seperti kopi, jagung, dan kedelai, yang masa panennya tentu lama, dan hasilnya tidak bisa dirasakan secepat kondisi sekarang, ketika menaman tanam pangan holtikultur. 

Pola pertanian  tertahan dengan pola pertanian subsisten tradisonal, dimana tanaman pangan dikelola dalam jumlah yang secukupnya untuk dikonsumsi sendiri. Lambat laun, dalam prosesnya terjadi pergeseran kedalam sistem pertanian komersil, dimana hasilnya digunakan untuk dipasarkan lagi seperti saat ini, dan tentu dengan teknik dan pola menaman yang lebih moderen.  Suatu loncatan perubahan besar bagi warga desa dan sistem pertanian mereka.

Ibarat proses pendewasaan pada manusia dengan segala dinamika yang sulit, kondisi kultur budaya masyarakat desa di Pulau Flores, khususnya di sektor pertanian telah melewati jalan yang sama. Anak-anak muda mereka yang telah keluar dari kerangkeng pola hidup lama, misalnya hanya sekedar nongkrong atau mabuk tuak dirumah tetangga, kini muncul sebagai pemantik sekaligus pembawa api, mengobarkan dan membakar lagi semangat bertani yang hampir lesu bagi hampir semua masyarakat desa.

Dalam percobaan mereka, para kaum muda ini mulai menaman lombok dan tomat dengan Sistem Bedengan Permanen (SBP), karena dirasa lebih baik ketimbang menggunakan Sistem Konvensional (gogorancah), baik disaat musim hujan dan kemarau. Meski demikian pada proses pembibitannya juga digunakan metode Vertikultur dan juga Polybag untuk mendapatkan bibit yang baik dan unggul. 

Perawatan baik pada proses penyiraman dan penyemprotan vitamin serta obat dilakukan secara berkala dengan dosis yang sesuai. Sedikit pengalaman dan pembelajaran secara otodidak tidak menyurutkan langkah para pemuda yang punya nyali dan kemauan yang sangat tinggi itu. Mereka mengakui "tidak menerima pelatihan dari pemerintah atau lembaga manapun".

Perawatan tanaman pangan holtikultur seperti Lombok Keriting, dan Tomat membutuhkan tingkat ketelitian dan kesabaran yang tinggi, dengan kendala dan rintangan yang tidak sedikit. Hama dan cuaca biasanya menjadi momok nomor satu, sehingga berbekal pengetahuan yang terbatas maka pestisida organik (Baca: Pestisida organik) yang dibuat sendiri menjadi pilihan terbaik bagi warga desa, karena selain aman bagi tumbuhan dan lingkungan juga ampuh dalam membunuh hama tanaman. 

Penantian panjang petani - petani desa Warikeo akhirnya terbayarkan, berkat kesabaran dan keteguhan serta usaha anak-anak muda progresif mereka, sebut saja seperti Hironimus Leo dan Porvirius Kaju.  Militansi dan kreativitas mereka mampu membawa angin segar bagi pola pertanian masyarakat desa, yang pada akhirnya mulai membuahkan hasil. Panen dapat langsung dirasakan oleh semua warga masyarakat, serta menjadikan inspirasi dan teladan bagi penduduk setempat. Banyak masyarakat yang mulai menyisihkan sedikit lahan mereka, untuk mulai ditanami  sayur, tomat, lombok dan tanaman holtikultur lainnya. Perubahan pola pertanian serta regenerasi budaya pertanian  menjalar ke hampir seluruh wilayah sekitar.

Dengan tidak memegang prinsip pada kepemilikan sektoral sebagaimana dalam uraian "Teori Perjuangan Kelas" Marx dan rekannya Friedrich Engels dengan manifesto tersohor mereka "Das Manifes Der Kommunistischen Partei : 1848". Bahwa alat-alat produksi, pola serta teknik menaman, yang dimiliki harus dibagikan dan diajarkan secara merata di kalangan masyarakat desa. Sebuah kunci keberhasilan dengan mengesampingkan kepemilikan individu sebagaimana lazimnya terjadi di Nusantara, yang mulai meninggalkan tradisi hidup masyarakat urban.

Praktek – praktek korporasi dan perusahaan  hanya menekankan kepemilikan korporat dengan keuntungan sepihak dan sebesar - besarnya, tanpa memperhatikan kaum buruh, proletar dan masyarakat kelas terbawah. Tidak bisa dibayangkan jika saja inovasi dan alat produksi pertanian beberapa pemuda desa tadi disimpan untuk kepentingan sendiri, serta tidak disebarluaskan di masyarakat  awam. Tentu pola pertanian khususnya pola perilaku sosial generasi muda desa, tidak akan mengalami banyak perubahan signifikan seperti sekarang. 

Sekali lagi melalui pemuda  kembali ditegaskan bahwa Desa sungguh adalah tempat terbaik untuk pulang dan semangat untuk memulai kembali. Sebagaimana semangat Revolusi yang pemuda tunjukan dalam pertanian, serta semangat yang selalu dipekikan para Revolusioner pendahulu, sejak Marx hingga Chaves di Venezuela serta yang paling tersohor, Ernesto Guevara bersama rakyatnya Kuba dengan slogan paling heroik mereka "Patria O Muerte, Venceramos!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun