Mohon tunggu...
Fuad Nur Zaman
Fuad Nur Zaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar dan Penggemar Sejarah

Imam al-Ghozali rahimahullah pernah mengatakan "kalau engkau bukan anak raja atau putra ulama besar, maka menulislah!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggapai Impian Suci: Kisah Abu Bakar dan Keinginan untuk Bersama Keluarga di Surga

5 Maret 2024   05:03 Diperbarui: 5 Maret 2024   05:16 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah gemuruhnya kehidupan dunia, cita-cita untuk bersama seluruh keluarga dalam keabadian surga seringkali menjadi impian yang memikat. Di sana, di bawah naungan kebahagiaan yang abadi, terpahat harapan untuk menghabiskan masa bersama orang-orang tercinta, tanpa ada perpisahan, dan tanpa ada rasa kehilangan. Namun, dalam perjalanan menuju surga bersama keluarga, banyak pertanyaan muncul. Bagaimana kita bisa mencapai surga? Apakah kebersamaan keluarga di sana serupa dengan yang kita bayangkan di dunia? Apa yang harus kita lakukan untuk memastikan bahwa kita semua akan bersama-sama di sana? Mari kita selami lebih dalam tentang impian suci ini, menjelajahi nilai-nilai, tindakan, dan persiapan yang diperlukan untuk memastikan bahwa keluarga kita berkumpul kembali di bawah bayang-bayang naungan surga.

Dalam meraih impian untuk bersama seluruh keluarga di surga, tidak ada contoh yang lebih mulia dan menginspirasi daripada teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka tidak hanya mengajarkan tentang cinta dan kebersamaan keluarga dalam kehidupan dunia, tetapi juga mencontohkan kesetiaan dan dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap nilai-nilai agama. Para sahabat, dengan kesetiaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, memperlihatkan kepada kita bahwa kebersamaan di surga bukanlah hanya sekadar impian, melainkan sebuah realitas yang dapat dicapai dengan ketulusan hati dan pengabdian yang tulus. Dari kisah hidup mereka, kita dapat belajar bagaimana menjaga hubungan keluarga yang harmonis, memperkuat ikatan iman, dan menempuh jalan menuju surga bersama-sama sebagai satu kesatuan yang utuh.

Salah satu sahabat yang memiliki visi besar tentang kekeluargaan adalah sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim Saudi Arabia mengatakan “Abu Bakar ash-Shiddiq RA merupakan sosok yang sangat dekat dengan keluarganya.” Meskipun dalam beberapa situasi, Abu Bakar menunjukkan sisi kecintaanya pada Allah dan rasulNya melibihi kecintaan beliau kepada keluarganya, tetapi beliau tidak melupakan perannya sebagai seorang kepala keluarga yang harus memperhatikan keluarganya. Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil juga sering menjadikan sosok Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai contoh dalam kasus-kasus peradilan keluarga yang ditangani olehnya. Menurut Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil salah satu alasan terbesar kerusakan pada hubungan keluarga adalah ketidakhadiran sang ayah, baik secara fisik maupun pengajaran. Peran ayah tentunya sangat vital, bukan hanya berputar pada masalah sosial tetapi lebih dari itu seorang ayah juga bertanggung jawab atas aqidah dan prinsip keagamaan dari keluarganya.

Pemahaman Abu Bakar ash-Shiddiq tentang konsep kekeluargaan tidak serta merta membuat keluarganya nihil dari ujian dan cobaan. Dalam beberapa riwayat, Abu Bakar ash-Shiddiq tercatat mendapatkan cobaan yang sangat berat dalam keluarganya. Cobaan yang memberatkan hati, dan mengacaukan pikiran. Tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq memahami konsep rabb semesta alam, bahwa dengan menyatakan keimanan bukan berarti seseorang akan bebas dari ujian dan cobaan, Allah SWT berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? (QS Al-Ankabut: 2) Abu Bakar ash-Shiddiq juga memahami bahwa cobaan yang diterima oleh seorang mukmin merupakan cara Allah SWT untuk menguji hambaNya. Berdasarkan rekam jejak Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menghadapi cobaan, Syaikh Abdul Qodir Jaelani rahimahullah berkata: “Wahai anak kecilku, sungguh cobaan itu datang bukan untuk membinasakanmu, namun dia datang untuk menguji kesabaran dan imanmu. Wahai anak kecilku, cobaan itu (ibarat) hewan buas, dan hewan buas itu tidak akan memangsa bangkai”. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim, 4/178).

Sosok yang menjadi ujian dan cobaan bagi Abu Bakar ash-Shiddiq adalah putranya sendiri. Dia adalah sosok yang memiliki prinsip yang kuat, pendirian yang kokoh baik di masa jahiliyah maupun di masa Islam. Sehingga, walaupun ayahnya menjadi pendukung setia Rasulullah SAW namun dia tetap kokoh dengan prinsipnya dan tidak mau ikut dengan ayahnya. Dialah Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau bisa disebut sebagai putra tertua dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena dalam catatan riwayat istri tertua dari Abu Bakar As-Shiddiq adalah Ummu Rumman binti Uwaymir yang melahirkan Abdurrahman dan Aisyah istri Rasulullah SAW.

Seorang anak muda yang memiliki pendirian yang kokoh, dan mungkin di zaman sekarang disebut sebagai orang yang keras kepala. Walaupun ayahandanya merupakan orang yang menjadi pendukung setia Rasulullah SAW, tetapi Abdurrahman bin Abu Bakar tetap berada pada prinsipnya dan tidak mau masuk Islam. Keadaan ini terus berlangsung bahkan hingga Rasulullah SAW dan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Mari kita bayangkan seberapa kuat dan kokoh pendirian Abdurrahman bin abu Bakar. Selama 13 tahun periode Makkah, Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu mendampingi Rasulullah SAW dalam setiap dakwahnya, tetapi justru putranya sendiri belum mau menerima Islam. Disinilah kita belajar dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau tak henti-hentinya berdo’a kepada Allah dan mengusahakan agar seluruh keluarganya mampu menjemput hidayah dan berada dalam dekapan Islam. Namun demikianlah hidayah, yang merupakan hak prerogatif Allah SWT. Apabila Allah merasa seseorang belum pantas untuk menjemput hidayah dariNya, maka seseorang tidak akan pernah mendapatkannya.

Saat setelah Rasulullah SAW dan kaum muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian bergulirlah berbagai peristiwa besar, diantaranya adalah Perang Badar. Perang Badar merupakan peperangan antara 313 kaum muslimin menghadapi kurang lebih 1000 pasukan kafir quraisy. Abu Bakar Ash-Shiddiq tentu berada di pihak kaum muslimin sedangkan putranya, Abdurrahman bin Abu Bakar berada di pasukan kafir quraisy. Ini merupakan suatu pemandangan yang unik, dimana satu keluarga berada pada pasukan yang berbeda dan saling bermusuhan. Peristiwa ini sebenarnya tidak dialami oleh Abu Bakar saja, tetapi beberapa sahabat yang lain juga mengalaminya. Sebagai contoh Mushab bin Umair yang menghadapi adiknya, Umar bin Khattab yang melawan pamannya, ada pula Bilal bin Rabbah yang melawan mantan tuannya serta Abu Ubaidah bin Jarrah yang melawan ayahnya. Inilah satu diantara banyaknya tekanan besar yang dihadapi kaum muslimin saat Perang Badar. Disamping harus berperang, kaum muslimin juga harus melawan hati dan pikirannya yang galau dikarenakan harus melawan saudara, kerabat dan keluarga mereka sendiri. Maka inilah yang membuat para veteran Perang Badar memiliki keutamaan lebih di sisi Allah dan rasulNya dibandingkan dengan veteran perang-perang lainnya.

Di medan pertempuran Badar, Umar bin Khattab tak segan-segan membunuh pamannya. Abu Ubaidah bin Jarrah bahkan menebas kepala ayahnya hingga terbelah menjadi dua. Bilal bin Rabbah pun juga berhasil membunuh Umayyah bin Khalaf yang merupakan mantan tuannya. Beberapa kejadian itu membuat dada dan hati mereka bergetar, sehingga muncul kegalauan dan rasa bersalah yang amat besar. Sebagai obat bagi hati mereka yang ragu dan galau atas kejadian yang baru saja terjadi, Rasulullah SAW menyampaikan firman Allah “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Berbeda dengan Umar, Abu Ubaidah dan sahabat-sahabat lainnya yang tak segan membunuh sanak keluarga mereka pada Perang Badar, Abu Bakar Ash-Shiddiq justru menghindari pertemuan dengan putranya di Perang Badar. Ketika Abu Bakar mendapati putranya di suatu tempat maka beliau akan langsung pergi menjauh dan menghindar. Bukan tanpa alasan, Abu Bakar Ash-Shiddiq ingin melindungi putranya dan menginginkan kebaikan atasnya. Abu Bakar tidak ingin antara dia dan putranya saling membunuh, entah dia yang terbunuh atau putranya yang terbunuh. Karena keduanya sama saja, akan memastikan kekufuran putranya dan menjauhkan putranya dari rahmat dan ampunan Allah SWT. Abu Bakar ash-Shiddiq mendambakan seluruh keluarganya berada dalam dekapan Islam dan bisa berkumpul bersama di surga, meskipun Abu Bakar ash-Shiddiq tau bahwa membunuh anaknya pada saat itu telah dibenarkan dalam syari’at.

Abu Bakar ash-Shiddiq memberikan sebuah gambaran akan visi besar yang melambangkan bukti cinta tertinggi kepada keluarganya. Ini adalah sebuah cita-cita yang mulia, bahwa beliau mendambakan pertemuan yang abadi dengan keluarganya di surga. Hal ini tentunya di dasari oleh keimanan, ketaqwaan dan juga kapasitas Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam memandang perintah Allah “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" (QS. At-Tahrim: 6.) Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang sahabat yang sangat lembut hatinya dan mudah tersentuh perasaannya. Beliau sering menangis ketika membaca ayat-ayat peringatan akan pedihnya siksa neraka. Bahkan beliau sempat di protes oleh para sahabat lainnya ketika menjadi imam sholat pengganti Rasulullah dikarenakan beliau terus-menerus menangis saat membaca ayat-ayat yang membahas tentang neraka. Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim Saudi Arabia menyampaikan bahwa QS. At-Tahrim ayat ke 6 termasuk ayat yang pernah membuat Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis. Lafadz "naara/api” datang dalam bentuk nakiroh, yang mana lafadz tersebut menunjukkan keagungan dan kengerian wujudnya sebagai api.  Bahkan dikatakan oleh Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam Liyadabbaru Ayatih: "ayat ini adalah gambaran Neraka yang paling besar pada perkara yang berkaitan dengan orang-orang yang beriman."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun