Mohon tunggu...
Syamiyah Farah Diba
Syamiyah Farah Diba Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nama saya Adiba, mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial. I have a strong interest in social issues, education, and community life. Melalui Kompasiana, saya ingin berbagi catatan perkuliahan, pengalaman belajar, dan personal reflections on topics that are closely related to our social life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Refleksi Bab 3 Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

18 Oktober 2025   00:16 Diperbarui: 18 Oktober 2025   00:16 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah mendengarkan presentasi kelompok 3 pada tanggal 15 Oktober 2025, saya merasa pembahasan mereka cukup menohok karena berhasil menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar simbol yang diucapkan di upacara, tapi benar-benar fondasi cara kita bernegara. Mereka menjelaskan bagaimana Pancasila menjadi dasar dari sistem hukum, politik, ekonomi, hingga sosial budaya Indonesia, sekaligus menjadi jalan tengah antara paham liberal yang terlalu menekankan individu dan paham kolektivis yang meniadakan kebebasan pribadi. Saya pikir, titik keseimbangan itu justru esensi terbesar dari Pancasila: mengajarkan harmoni antara kebebasan dan tanggung jawab sosial.

Namun, refleksi saya tidak berhenti di situ. Justru setelah mendengar penjelasan itu, saya jadi berpikir: seberapa jauh nilai-nilai dasar negara ini benar-benar hidup dalam praktik kenegaraan kita hari ini? Di tengah maraknya politik identitas, ketimpangan sosial, dan polarisasi media sosial, Pancasila sering terasa seperti konsep ideal yang kehilangan giginya di dunia nyata. Kita tahu teorinya, tapi tidak lagi menjiwainya. Banyak kebijakan publik yang jauh dari semangat keadilan sosial, dan budaya musyawarah kini sering tergantikan oleh debat yang saling menjatuhkan di ruang digital.

Presentasi kelompok 3 juga menyinggung soal tantangan globalisasi, yang menurut saya sangat relevan. Globalisasi memang membawa kemajuan, tapi juga nilai-nilai individualisme ekstrem yang kadang membuat kita lupa pada semangat gotong royong, padahal itu inti dari Pancasila sendiri. Rasanya ironis ketika negara yang menjadikan "Keadilan Sosial" sebagai sila kelima justru masih bergulat dengan ketimpangan ekonomi dan sikap apatis di masyarakat.

Presentasi kelompok 3 mengingatkan saya bahwa Pancasila memang dirancang bukan hanya sebagai dasar hukum, tapi juga sebagai kompas moral bangsa. Namun, melihat realitas hari ini, sulit untuk tidak merasa bahwa kompas itu mulai kehilangan arah. Banyak yang mengaku menjunjung Pancasila, tapi praktik bernegaranya justru bertolak belakang. Korupsi dibiarkan, intoleransi tumbuh, dan kepentingan golongan sering menenggelamkan kepentingan rakyat. Di titik ini, Pancasila seolah hanya jadi jargon yang dihidupkan setiap peringatan 1 Juni atau upacara sekolah, bukan nilai yang benar-benar menuntun keputusan publik.

Kesimpulannya, tantangan terbesar kita bukan mempertahankan Pancasila dari ancaman luar, tapi dari kelalaian kita sendiri dalam menghidupinya. Generasi muda harus berani mengkritik ketika nilai-nilai Pancasila hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan, dan mulai mengembalikannya ke makna sejatinya: dasar moral untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Di tengah derasnya arus globalisasi dan krisis integritas politik, tugas kita bukan hanya menjaga Pancasila tetap diucapkan, tapi memastikan ia tetap dihayati. Sebab, relevansi Pancasila tidak diukur dari seberapa sering ia disebut, melainkan seberapa jujur kita mencerminkan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun