Merespon artikel “Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah” yang ditulis oleh Bapak Study Rizal di Kompasiana pada 13 September 2025. Menurut saya menarik, artikel ini menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya bisa dipahami sebatas adanya pemilu atau kelengkapan lembaga negara. Demokrasi baru bisa hidup kalau ada ruang dialog yang sehat antara negara dan rakyat. Kasus di Nepal jadi contoh nyata bagaimana demokrasi runtuh ketika komunikasi itu putus: kritik dianggap ancaman, kebebasan dibatasi, dan suara rakyat dijawab dengan kekerasan. Akibatnya, bukan stabilitas yang tercipta, melainkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kalau dikaitkan dengan Indonesia, pelajaran ini jelas relevan. Kita sendiri pernah mengalami masa represi sebelum Reformasi 1998, di mana suara rakyat ditekan justru berujung pada krisis besar. Dari sejarah itu kita belajar bahwa demokrasi tidak cukup hanya dijaga lewat prosedur formal seperti pemilu, tetapi juga lewat keterbukaan, transparansi, serta keberanian pemerintah untuk menerima kritik.
Dalam perspektif Pendidikan Pancasila, khususnya sila ke-4, inti demokrasi adalah musyawarah, dialog, dan penghargaan pada suara rakyat. Artinya, jika negara menjawab kritik dengan represi, maka ia sejatinya telah keluar dari nilai Pancasila itu sendiri. Jadi, menurut saya, pelajaran utama yang bisa kita tarik dari kasus Nepal adalah bahwa keterbukaan, keadilan, dan keberanian mendengar rakyat merupakan syarat mutlak agar demokrasi benar-benar hidup, bukan sekadar formalitas di atas kertas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI