1.: ah.....percuma.....mencari saudara dalam zaman serba perhitungan. Dunia rasanya ibarat duri dalam daging, menikam dari dalam, membusuk perlahan, pekikkan sakit terhanyut tatkala, saudara berubah rupa ibarat bisa ular berpapasan dengan keangkuhan Hawa, di tengah kesejukan Eden.
Â
2. Â : cukup, cukup....kau lupa......bola matamu tersumbat. Â Tidakkah kau lihat, terpampang jelas, pesona derita di ambang ragu-ragumu itu. Bahaya sudah dekat.......waspadalah........kembali.....kembalilah pada akar, darinya terpancar segala sumber dan kepadanya tertuju segala puncak.
3. : ah....tak lebih dari hukuman yang terpatri dalam sejarah. Kebodohan tak ada untungnya. Siksaan, jerih payah menimpali bertubi-tubi. Rasanya, ingin kurajam diriku dengan huruf-huruf sekeras batu. Semuanya hilang. Harapanku pudar, saudaraku, saudariku tak tahu ke mana, entahlah.....
4. Â : Saya teringat akan secarik kertas, bertinta emas, yang menuliskan tentang kisah-kisah tua, berpalangkan kayu, berlumuran darah, di situ dituangkan nista-nista penjuru dunia. Kisah itu berakhir di situ, dan tak pernah kutemukan lagi kisah-kisah lain yang menyerupai itu.
5. : Lalu.........maksudmu.....semuanya berakhir begitu saja? Untuk apa......?.... Ingat!!!! kisah-kisah dunia ini, takkan pernah lebih dari kisah-kisah para mafia, yang selalu berupaya melabur ulang kubur berjazad busuk.
6 : Saudaraku!!! Tiada dunia tanpa chaos, tiada saudara tanpa darah. Satu yang harus kau ingat!!! Camkan baik-baik!!! Kubur kosong bukan omong kosong. Di situ kau akan menemukan, ternyata kekosongan yang kita alami, menuntun kita untuk menemukan isi di luar kekosongan kita. Saya mengajak saudara....pandanglah Salib.