Beberapa tahun lalu, saya pernah mengantarkan hewan Kurban ke salah satu Masjid di Kelurahan Ilir, Kecamatan Gunungsitoli, Sumatera Utara. Saat itu, saya masih aktif sebagai Pengurus Daerah di salah satu  Partai Politik di Kota Gunungsitoli. Kegiatan itu adalah bagian dari program tahunan Partai dalam merayakan Idul Adha dan mendekatkan diri kepada masyarakat. Meski hewan kurban itu bukan milik saya secara pribadi, saya merasa terhormat karena diberi kepercayaan untuk menyerahkannya langsung ke panitia masjid.
Saya masih ingat betul bagaimana sambutan hangat dari para Pengurus Masjid. Ucapan terima kasih mereka terdengar tulus dan penuh rasa syukur. Waktu itu, saya berdiri di tengah halaman Masjid yang dipenuhi oleh Anak-anak, Orang tua, dan Para Relawan. Di balik suasana yang sederhana, ada sesuatu yang dalam yang saya rasakan. Momen itu membekas dan menyentuh hati saya. Bukan karena saya merasa telah memberi, tetapi karena saya menyaksikan sendiri bagaimana makna kurban hidup di tengah masyarakat.
Sebagai seorang umat Katolik, saya tumbuh dengan nilai-nilai iman yang juga menekankan pentingnya pengorbanan dan kasih kepada sesama. Momen mengantarkan hewan Kurban ke Masjid memberi saya ruang untuk merenung. Ternyata, semangat Kurban tidak hanya hidup dalam keyakinan umat Muslim, tetapi juga bisa dipahami sebagai wujud solidaritas lintas iman. Saya tidak memberikan Kambing itu atas nama pribadi, tetapi saya melihat bagaimana seekor Kambing bisa menjadi jembatan persaudaraan di antara perbedaan.
Saya lalu bertanya dalam hati, apakah mungkin seorang Katolik bisa berkurban? Bukan dalam arti ritual keagamaan, tetapi dalam makna yang lebih dalam. Ternyata jawabannya bisa. Kurban bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan soal keikhlasan memberi yang terbaik bagi sesama. Dalam konteks itu, saya yakin siapa pun, apapun agamanya, bisa berkurban.
Saya teringat ajaran Tuhan Yesus tentang kasih. Ia tidak pernah membatasi kasih hanya pada mereka yang seiman. Ia memberi makan orang banyak, menyembuhkan yang sakit, dan hadir di tengah mereka yang terpinggirkan. Itu juga Kurban. Kurban dalam bentuk waktu, tenaga, bahkan hidup. Maka jika semangat Idul Adha dimaknai sebagai momentum untuk memberi yang terbaik kepada yang membutuhkan, saya yakin itu bukan milik satu agama saja. Itu adalah nilai Universal.
Di masa kini, di mana perbedaan kerap dijadikan alasan untuk menjauhkan, pengalaman kecil saya di Gunungsitoli justru menunjukkan sebaliknya. Kurban bisa menjadi momen untuk mendekatkan. Saya merasa dihargai, diterima, dan di tengah perbedaan itu, kami bisa duduk bersama. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang merasa paling benar. Yang ada hanyalah rasa hormat, keikhlasan, dan cinta kasih.
Idul Adha mengajarkan kita tentang pengorbanan Nabi Ibrahim yang bersedia menyerahkan putranya sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Tapi dalam konteks kekinian, kurban tidak harus selalu berwujud darah dan daging. Bisa jadi itu bentuk perhatian kepada tetangga yang kesulitan. Atau keinginan untuk membantu orang asing di jalan. Atau mungkin, sesederhana memberi waktu untuk mendengarkan keluh kesah teman yang sedang sedih.
Pengalaman di tanah kelahiran itu mengubah cara pandang saya. Kurban tidak lagi saya pahami sebagai ritual semata. Ia menjelma menjadi cermin tentang seberapa besar saya peduli terhadap orang lain. Ketika saya berdiri di halaman Masjid itu, melihat senyum anak-anak yang tahu akan menikmati daging kurban, saya merasa seperti ikut merayakan Idul Adha meskipun saya bukan bagian dari umat yang merayakannya secara formal.
Cerita ini merupakan sepintas pengalaman yang mungkin terlihat sederhana, tapi berdampak besar bagi batin saya. Jika Kurban dipahami sebagai panggilan untuk memberi tanpa syarat, maka siapa pun bisa melakukannya. Tidak penting dari mana agamanya, siapa nama Tuhannya, atau kitab sucinya apa. Yang penting adalah apakah kita mau menyentuh hati orang lain dengan keikhlasan kita.
Kini, setiap kali Idul Adha tiba, saya selalu teringat masa itu. Saya tidak lagi melihatnya hanya sebagai hari libur Nasional. Saya melihatnya sebagai panggilan untuk lebih Peka, lebih Peduli, dan lebih Rendah Hati. Mungkin saya tidak bisa menyembelih Kambing atau Sapi, tapi saya bisa memberikan waktu, tenaga, atau sekadar senyuman untuk orang lain. Itu juga bentuk kurban.
Tahun ini saya belum bisa ikut berkurban. Tapi pengalaman itu terus hidup dalam ingatan saya. Dan mungkin, itulah yang sedang saya siapkan, hati yang siap memberi. Saya tidak tahu bagaimana caranya, tapi saya berharap, tahun depan saya bisa ikut berkurban dengan apa pun yang saya punya. Entah itu waktu, tenaga, atau rezeki yang bisa saya sisihkan. Karena saya percaya, semangat kurban tidak menunggu kita mampu, tapi mengajak kita untuk lebih mau.
Idul Adha memberi kita kesempatan untuk membuka mata, bahwa di balik ritual yang berbeda, kita semua punya satu tujuan yang sama. Untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih tulus, dan lebih peduli.
Jadi, bukan soal siapa yang berkurban. Tapi siapa yang tersentuh. Karena pada akhirnya, Kurban sejati adalah ketika hati kita ikut tergerak untuk memberi, walau sekadarc dengan apa yang kita punya.
Terakhir, saya mengucapkan Selamat merayakan Idul Adha untuk saudara-saudaraku yang Muslim. Terima kasih karena lewat hari raya ini, saya belajar tentang cinta dan pengorbanan dari cara yang sangat manusiawi dan menyentuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI