Ketegangan bersenjata antara India dan Pakistan kembali menunjukkan gejala eskalasi yang mengkhawatirkan. Pada awal tahun ini, laporan bentrokan di wilayah Kashmir kembali menyeruak. Korban jiwa dari kalangan sipil berjatuhan, dan peringatan akan potensi perang terbuka antara dua negara bersenjata nuklir kembali mengemuka.Â
Konflik ini bukan sekadar urusan bilateral dua negara Asia Selatan, melainkan potensi ancaman terhadap stabilitas kawasan Indo Pasifik dan keamanan global secara menyeluruh. Di tengah situasi ini, Indonesia tidak dapat tinggal diam.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif telah lama menjadi panduan moral sekaligus arah strategis dalam menghadapi ketegangan internasional. Namun dalam dinamika geopolitik kontemporer, prinsip ini harus diartikan secara progresif. Bebas tidak berarti menjauh dari tanggung jawab global.
Aktif tidak cukup hanya hadir dalam forum internasional, tetapi harus diiringi dengan keberanian mengambil inisiatif. Ketika konflik antara dua negara besar berlangsung dan komunitas internasional mulai terpolarisasi, netralitas Indonesia tidak boleh dimaknai sebagai sikap pasif.
Indonesia memiliki posisi strategis sekaligus historis yang memungkinkan untuk mengambil peran aktif sebagai fasilitator dialog. Hubungan baik dengan India sebagai sesama negara pendiri Gerakan Non Blok dan kedekatan keagamaan serta solidaritas dengan Pakistan melalui Organisasi Kerja Sama Islam menjadi kekuatan diplomatik yang unik.Â
Indonesia bukan pihak yang dicurigai memiliki kepentingan tersembunyi, sehingga lebih mudah membangun kepercayaan kedua belah pihak. Momentum ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong terciptanya ruang perundingan yang adil dan beradab.
Lebih dari sekadar kehormatan diplomatik, inisiatif Indonesia juga menyangkut kepentingan nasional secara langsung. Kawasan Asia Selatan adalah salah satu mitra dagang penting Indonesia, sekaligus jalur strategis dalam sistem logistik global.Â
Perang berkepanjangan di sana akan berdampak pada stabilitas harga energi, arus perdagangan, hingga ancaman terhadap keselamatan warga negara Indonesia di luar negeri. Dalam konteks inilah kebijakan luar negeri menjadi alat perlindungan domestik, bukan sekadar pernyataan politik internasional.
Sebagai bagian dari komunitas regional, Indonesia juga memiliki mandat moral dalam memperkuat solidaritas kawasan. ASEAN selama ini cenderung berhati-hati dalam merespons konflik di luar wilayah, tetapi justru Indonesia sebagai pemimpin alami ASEAN dapat menunjukkan model diplomasi yang tidak abai pada krisis kemanusiaan lintas batas. Diam dalam kekerasan bukanlah pilihan etis, dan membiarkan kekuatan militer mengalahkan supremasi hukum internasional sama saja dengan mencederai nilai-nilai yang menjadi dasar berdirinya republik ini.
Sebagai praktisi hukum, saya percaya bahwa setiap konflik bersenjata yang berdampak pada warga sipil adalah pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Indonesia sebagai negara hukum tidak boleh mengambil jarak dari prinsip keadilan global hanya demi menjaga hubungan bilateral.
Keberanian moral untuk menyuarakan hukum dan kemanusiaan justru menjadi kekuatan utama Indonesia di tengah kompetisi negara-negara besar yang kerap didikte oleh kepentingan strategis semata.
Tentu sikap ini bukan tanpa tantangan. Diplomasi memerlukan kecermatan dalam menjaga kepercayaan tanpa mengorbankan prinsip. Ketegasan dalam menolak kekerasan harus disampaikan dengan bahasa yang membangun. Indonesia tidak perlu menjadi juru damai yang memaksa, cukup menjadi suara penyeimbang yang mengingatkan bahwa perang bukan solusi, dan bahwa perdamaian bukan kelemahan.
Dunia membutuhkan lebih banyak negara yang berani menjadi suara akal sehat di tengah riuhnya konflik yang dipenuhi kepentingan geopolitik.
Pada akhirnya, keberpihakan Indonesia bukan pada India atau Pakistan. Keberpihakan Indonesia adalah pada hukum, perdamaian, dan kemanusiaan. Prinsip bebas aktif tidak boleh hanya berhenti sebagai doktrin diplomatik, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berpihak pada stabilitas dunia.Â
Sudah saatnya pemerintah Indonesia menyuarakan diplomasi dengan keberanian moral, bukan sekadar kalkulasi strategis. Dalam perang yang mengancam kemanusiaan, suara Indonesia seharusnya tidak hanya netral tetapi juga bernyawa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI