Panggilan menjadi imam bukanlah sebuah pilihan karier biasa yang bisa dijalani dengan setengah hati. Ia adalah jawaban terhadap sapaan ilahi yang mendalam, sebuah panggilan yang menuntut penyerahan diri secara total kepada Kristus dan umat-Nya. Namun, dalam kenyataan yang menyedihkan, tidak sedikit calon imam yang menjalani panggilan ini dengan sikap yang dingin dan tanpa semangat. Formasi dijalani sebatas rutinitas: mengikuti kuliah, menjalankan ibadat, mengikuti kegiatan kerasulan --- semua dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban, bukan sebagai jalan pembentukan diri menuju konfigurasi dengan Kristus, Sang Imam Agung.Lebih ironis lagi, banyak calon imam tidak menyadari bahwa keberadaan mereka dalam seminari adalah buah dari pengorbanan umat. Setiap kolekte yang dikumpulkan dari paroki-paroki, setiap sumbangan dari petani sederhana di desa, setiap uang kecil dari anak-anak dan orang tua di Gereja --- semuanya diarahkan untuk mendukung pendidikan para calon imam. Namun, bukannya menanggapi dengan syukur, sikap yang muncul seringkali justru jauh dari semangat pelayanan. Banyak yang hidup dalam zona nyaman, menikmati fasilitas, dan malah terjebak dalam gaya hidup profan: sibuk dengan media sosial, membeli barang-barang konsumtif, hingga melupakan hidup doa dan pertobatan yang seharusnya menjadi inti kehidupan seorang calon imam.
Situasi ini menunjukkan sebuah krisis yang tidak bisa diabaikan. Calon imam yang seharusnya menjadi figur pemimpin rohani dan teladan umat, justru berada dalam krisis identitas panggilan. Mereka tidak lagi menghidupi panggilan sebagai sebuah proses transformasi batin yang mendalam, melainkan sebagai status sosial yang menenangkan. Dalam kerangka filosofis, hal ini bertentangan dengan makna kebebasan sejati. Filosofi eksistensialisme religius, seperti yang diungkapkan Kierkegaard, memandang panggilan sebagai "lompatan iman" --- keputusan radikal untuk melepaskan diri dari ego pribadi demi menyatu dengan kehendak ilahi. Panggilan imamat adalah proses "menjadi", bukan "memiliki".
Ketika panggilan hanya dilihat sebagai hak atau status, dan bukan sebagai pemberian Tuhan yang menuntut pengorbanan, maka relasi antara panggilan dan penghayatannya pun menjadi timpang. Dalam terang teologis, imamat adalah partisipasi dalam imamat Kristus yang adalah Gembala Baik. Ia memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Maka kehidupan seorang imam, dan calon imam sejak awal, tidak bisa dilepaskan dari semangat kurban dan pelayanan. Ini bukan hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk sesama.
Kitab Suci pun memberi kita banyak gambaran tentang beratnya sebuah panggilan. Nabi Yesaya, Yeremia, bahkan para rasul Yesus, semuanya mengalami pergulatan ketika dipanggil. Mereka merasa tidak layak, namun bersedia dibentuk. Yesus sendiri bersabda bahwa siapa yang ingin mengikuti-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti Dia. Maka ketika calon imam lebih tertarik pada kenyamanan daripada salib, lebih menyukai sorotan media sosial daripada keheningan doa, itu pertanda bahwa mereka menjauh dari pola hidup Kristus.
Gereja melalui dokumen Optatam Totius telah menekankan pentingnya pembentukan yang menyeluruh dalam seminari. Pendidikan tidak hanya bertujuan menjadikan calon imam sebagai ahli teologi, melainkan sebagai pribadi utuh yang menyerupai Kristus: rendah hati, setia, berani berkorban, dan mencintai umat. Dalam dokumen itu ditekankan bahwa formasi spiritual adalah jantung pembinaan imam. Kepribadian harus dibentuk, kedewasaan dikembangkan, dan kesadaran akan tanggung jawab terhadap umat harus ditanamkan sejak awal. Namun, jika para calon imam gagal menghidupi panggilan ini secara utuh, mereka tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga melukai Gereja yang telah menaruh harapan besar pada mereka.
Tentu situasi ini bukan tanpa harapan. Diperlukan sikap batin yang baru dari para calon imam, sebuah pertobatan rohani yang lahir dari kesadaran akan rahmat panggilan. Pertama, mereka harus menyadari bahwa panggilan ini bukan milik mereka, tetapi anugerah yang dipercayakan oleh Tuhan melalui Gereja. Kesadaran ini melahirkan rasa syukur, dan dari syukur lahirlah semangat untuk setia. Kedua, kehidupan doa harus dijadikan pusat hidup harian, bukan sekadar rutinitas. Melalui doa, calon imam membangun relasi personal dengan Tuhan dan menyatukan dirinya dalam kehendak Allah. Ketiga, mereka harus membangun disiplin hidup: mulai dari hal kecil seperti bangun pagi, bersikap sopan, hingga menyelesaikan tugas dengan jujur dan tekun. Semua itu adalah latihan untuk menjadi pribadi yang dapat dipercaya.
Keempat, sikap menahan diri dan hidup sederhana harus ditumbuhkan. Dunia hari ini menawarkan banyak hal yang memikat, tetapi hanya orang yang bisa menolak godaan yang bisa benar-benar bebas. Calon imam diajak untuk hidup berbeda, bukan karena sombong rohani, tetapi karena panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia. Kelima, mereka harus terus mengingat umat sebagai penopang panggilan. Setiap suapan makanan di seminari, setiap buku, setiap pelajaran yang mereka terima --- semuanya berasal dari cinta umat. Maka sikap yang pantas bukanlah menuntut, tetapi melayani.
Pada akhirnya, setiap calon imam harus terus-menerus merenungkan, "Mengapa Tuhan memanggilku?" Bukan karena kehebatan atau keistimewaan, tetapi karena Tuhan ingin memakai bejana rapuh ini untuk karya keselamatan-Nya. Kesadaran ini memampukan seorang calon imam untuk tetap setia, bahkan ketika jatuh dan gagal. Ia akan bangkit lagi, karena tahu bahwa panggilannya adalah jalan salib bersama Kristus.
Panggilan ini terlalu suci untuk dijalani setengah hati. Maka, jika engkau seorang calon imam, ingatlah: hidupmu bukan milikmu. Umat menaruh harapan padamu, Tuhan mempercayakan misi-Nya kepadamu. Jangan sia-siakan rahmat ini. Jalani hari-harimu di seminari dengan hati yang penuh syukur, tekun, dan terus mengarah pada Kristus. Sebab hanya dengan cara itu engkau sungguh menjadi imam yang diutus, bukan sekadar imam yang ditahbiskan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI