Dunia terus bergerak maju. Perkembangan teknologi, arus globalisasi, serta perubahan nilai-nilai sosial menjadikan hidup panggilan---khususnya sebagai imam---terlihat semakin kompleks. Di tengah tekanan dunia yang menuntut efisiensi, kinerja, dan kesempurnaan, panggilan menjadi imam kerap disalahpahami seolah seperti proses rekrutmen profesional. Tapi ini keliru secara fundamental.
Generasi muda zaman ini bukan tidak berani menjawab panggilan. Banyak dari mereka memiliki semangat tulus untuk menyerahkan diri demi Tuhan dan Gereja. Namun yang menjadi penghalang bukanlah keberanian, melainkan luka---akibat menyaksikan bagaimana rekan-rekan mereka masuk seminari, lalu dipulangkan karena dianggap tidak memenuhi standar tertentu.
Dalam banyak kasus, formasi tampak seperti saringan sempit: yang tidak cukup pintar, kurang doa, atau memiliki gangguan psikologis ringan segera dianggap tidak layak. Proses pembinaan seolah-olah menjadi ajang seleksi alam, di mana yang "kuat" bertahan, dan yang "lemah" dieliminasi. Maka, di sinilah suara profetik harus bergema: formasi bukan proses seleksi, melainkan pembentukan. Bukan soal kecocokan, tapi soal pertumbuhan. Bukan soal nilai sempurna, tapi soal kasih.
Yesus: Formator Sejati yang Penuh Belas Kasih
Yesus memanggil murid-murid-Nya bukan karena mereka sudah siap, melainkan agar mereka dibentuk dalam proses berjalan bersama-Nya.
"Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Markus 1:17)
Yesus tidak memanggil mereka karena mereka sudah memenuhi syarat psikologis, spiritual, dan akademik. Petrus adalah nelayan kasar yang impulsif. Thomas penuh keraguan. Yakobus dan Yohanes egois dan ambisius. Bahkan Yudas tetap dibiarkan masuk dalam komunitas sampai ia sendiri yang memilih keluar.
Yesus tidak memulai dengan menilai, melainkan mengasihi. Ia mendampingi mereka dalam keseharian, menjelaskan perumpamaan, menarik mereka ke tempat sunyi untuk memberi formasi mendalam (Markus 6:31), bahkan membasuh kaki mereka (Yohanes 13:14-15). Dalam setiap momen itu, Yesus mengajarkan satu hal: formasi adalah perjumpaan cinta.
Formasi dalam Terang Dokumen Gereja
Dekrit Optatam Totius (OT) menyatakan bahwa tujuan formasi imam bukan sekadar menghasilkan seseorang yang "cakap" tetapi pribadi yang "menyerupai Kristus Gembala" (lih. OT 4). Formasi harus menyentuh seluruh dimensi manusia: intelektual, rohani, afektif, pastoral, dan personal---dengan kasih sebagai benang merahnya.
"Tujuan utama pendidikan imam ialah pembentukan gembala jiwa-jiwa sejati menurut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala." (OT 4)
Pernyataan ini sangat penting. Kristus adalah teladan utama. Maka, proses formasi tidak boleh menjauh dari cara Kristus sendiri: membentuk, bukan mengganti; mendampingi, bukan menyeleksi; menumbuhkan, bukan menilai semata.
Lebih lanjut, OT 11 menegaskan pentingnya "pendekatan pribadi" dalam formasi, yaitu kehadiran formator yang sungguh-sungguh menyatu dan mengenal para formandi secara dekat, bukan hanya administratif. Ini menjadi kritik bagi model formasi yang terlalu mengandalkan sistem pelaporan dan asesmen teknis tanpa menyentuh dinamika batin formandi.
Eliminasi atau Kebebasan?
Yesus tidak pernah mengeliminasi para murid-Nya. Bahkan ketika banyak murid meninggalkan Dia setelah ajaran tentang Ekaristi (Yohanes 6), Ia tidak memarahi atau menghukum. Ia justru memberi ruang kebebasan:
"Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (Yohanes 6:67)
Ini adalah ujian iman yang paling hakiki. Formasi pun sejatinya mengajak formandi untuk merespons dengan kebebasan penuh. Maka ketika ada formandi yang jatuh, lemah, atau bergumul dengan masalah pribadi, bukan berarti dia harus segera dipulangkan. Bisa jadi ia sedang ada di momen pertumbuhan yang paling kritis---dan justru paling membutuhkan kehadiran formator yang penuh belas kasih.
Psikologi sebagai Sahabat, Bukan Hakim
Banyak lembaga formasi mengandalkan psikotes sebagai indikator utama seleksi atau kelayakan formandi. Padahal dalam OT 11 dan 12, psikologi justru ditempatkan sebagai alat bantu pastoral, bukan alat eliminasi. Pengetahuan psikologis membantu memahami keunikan pribadi, luka batin, serta kekuatan formandi yang bisa dikembangkan, bukan kelemahannya untuk disingkirkan.
Jika seseorang mengalami kecemasan, trauma masa lalu, atau kesulitan dalam relasi---itulah alasan formasi dibentuk: untuk menyembuhkan, bukan menolak. Bukankah Yesus sendiri berkata:
"Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." (Markus 2:17)
Maka, ketika seorang formandi tampak "tidak stabil", pendekatan pastoral dan relasional harus mendahului keputusan administratif. Kita tidak pernah tahu luka seperti apa yang sedang ia tanggung. Namun kasih---jika diberikan secara tulus---punya kekuatan untuk memulihkan.
Formator: Menjadi Seperti Kristus
Seorang formator dipanggil untuk menjadi ikon Kristus: sabar, rendah hati, dan berani hadir. Bukan sekadar guru atau evaluator, tetapi sahabat rohani. OT 5 menyebut bahwa mereka yang memimpin formasi harus menjadi "orang-orang yang sungguh-sungguh mengerti hati manusia dan mampu mendampingi pertumbuhan pribadi."
Maka, sikap konkret yang perlu dihidupi oleh para formator meliputi:
Membangun relasi pribadi: bukan sekadar menjadwalkan pertemuan mingguan, tapi hadir sebagai teman ziarah hidup rohani.
Memberi ruang refleksi: libatkan formandi dalam pembacaan hidup mereka sendiri, bukan hanya pasif menerima penilaian.
Mendampingi dalam kegagalan: jangan jadikan kegagalan sebagai alasan mengeluarkan, tapi sebagai momen belajar bersama.
Menghayati semangat belas kasih: melihat potensi lebih dari kelemahan. Percaya bahwa setiap pribadi bisa bertumbuh---seperti Petrus yang akhirnya memimpin Gereja meski pernah jatuh.
Formasi adalah Jalan Kasih yang Panjang
Formasi imam adalah perjalanan panjang. Ini bukan ruang steril untuk mencetak pribadi ideal, tapi tanah subur untuk menumbuhkan benih panggilan yang rentan namun penuh harapan. Belas kasih bukan kelemahan. Justru belas kasih adalah kekuatan yang membentuk hati seorang gembala sejati.
Gereja hari ini membutuhkan imam yang mengerti manusia---karena mereka sendiri pernah dimengerti. Gereja butuh imam yang sabar---karena mereka pernah disabari. Gereja butuh imam yang penuh kasih---karena mereka dibentuk dalam kasih, bukan dalam ketakutan.
Maka, selama seorang formandi masih mau bertumbuh, masih mau belajar, dan tetap membuka hatinya kepada Tuhan---formasi seharusnya menjadi rumah, bukan pengadilan. Rumah di mana ia bisa jatuh, lalu bangkit. Di mana ia bisa gagal, tapi dikuatkan. Dan akhirnya menjadi imam bukan karena sempurna, tetapi karena pernah dikasihi dan kini siap mengasihi.
Jangan Pernah Menyerah
Yesus tidak pernah menyerah pada murid-murid-Nya. Bahkan ketika mereka gagal total---seperti Petrus---Ia menatap mereka dengan cinta dan memberi mereka kesempatan baru (Lukas 22:61; Yohanes 21:15-17). Maka, sebagai formator dan Gereja, kita juga tidak boleh menyerah pada mereka yang sedang bertumbuh.
Formasi bukan tentang menciptakan imam-imam tanpa cacat, tetapi imam-imam yang tahu bagaimana bangkit setelah jatuh, karena pernah mengalami kasih yang sabar, penuh pengampunan, dan tanpa syarat.
Selama seseorang masih mau dibentuk---Yesus tidak pernah menolak. Maka kita pun tidak boleh menutup pintu harapan.
"Panggilan Tuhan itu tidak berdasarkan kelayakan manusia, tetapi pada rahmat dan belas kasih-Nya."
(lih. Efesus 2:8-9)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI