Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Kita Sering Merasa Cemas?

31 Agustus 2025   14:56 Diperbarui: 31 Agustus 2025   14:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cemas tidak pernah benar-benar asing bagi siapa pun. Ia muncul seperti tamu yang tak diundang, datang pada saat-saat rawan: ketika bangun tidur, saat menunggu kabar, atau bahkan ketika sedang tidak terjadi apa-apa. Pertanyaan yang sering menggantung di kepala kita adalah, mengapa perasaan ini begitu sering menghampiri? Apakah kita terlalu lemah menghadapi hidup, atau memang ada sesuatu yang lebih mendasar di balik rasa cemas yang terus mengintai?

Kecemasan hari ini bukan lagi sekadar gangguan emosional. Ia sudah menjadi fenomena sosial, budaya, bahkan politik. Dari anak sekolah hingga pekerja kantoran, dari ibu rumah tangga hingga pengusaha besar, semua mengenal rasa cemas dengan kadar berbeda. Inilah yang membuat pembahasan soal cemas selalu relevan, karena ia bukan penyakit segelintir orang, melainkan cermin dari cara kita menjalani zaman yang semakin kompleks.

Cemas Itu Warisan Lama yang Berubah Bentuk

Rasa cemas sesungguhnya adalah warisan evolusi. Nenek moyang manusia hidup dalam kondisi liar, di mana kewaspadaan menentukan apakah mereka bisa bertahan hidup atau mati dimangsa. Tubuh mereka bereaksi terhadap ancaman dengan jantung berdebar, napas cepat, dan kewaspadaan tinggi. Itu semua bagian dari mekanisme bertahan hidup.

Namun, dunia modern sudah jauh berbeda. Singa dan harimau tidak lagi mengintai kita di hutan. Bahaya besar yang kita hadapi bukan predator, melainkan target kerja, persaingan ekonomi, atau komentar pedas di media sosial. Sistem tubuh kita masih sama dengan nenek moyang, hanya saja ancamannya berubah. Maka lahirlah ketidakcocokan: otak kita memperlakukan email yang terlambat dibalas seolah-olah itu serangan dari binatang buas.

Inilah mengapa cemas kerap terasa berlebihan. Otak tidak bisa membedakan dengan tepat mana ancaman nyata dan mana ancaman imajiner. Akibatnya, tubuh bereaksi dengan cara yang sama. Bayangkan, sebuah notifikasi bisa memicu detak jantung lebih cepat, seolah kamu sedang berlari dikejar anjing. Fenomena ini jarang disadari, padahal menjadi kunci kenapa cemas begitu akrab dengan kehidupan modern.

Kehidupan Modern yang Memproduksi Kecemasan

Kita sering mendengar klaim bahwa hidup sekarang jauh lebih nyaman daripada masa lalu. Teknologi memberi kita atap, transportasi, makanan berlimpah, dan hiburan tanpa batas. Tetapi di balik kenyamanan itu tersembunyi jebakan yang membuat otak kita kewalahan.

Setiap hari, kita dibanjiri informasi dari berbagai arah. Media sosial membuat kita bisa tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Sayangnya, arus informasi ini tidak datang dengan saringan. Otak kita menerima berita buruk, gosip, drama selebritas, hingga krisis politik secara bersamaan. Kondisi ini membuat otak tak punya waktu mencerna secara sehat, sehingga cemas pun berkembang biak.

Selain itu, budaya membandingkan diri di media sosial menambah beban. Kita melihat pencapaian orang lain lalu merasa tertinggal. Rasa tidak cukup itu berakar di kepala, menimbulkan tekanan yang sulit dijelaskan. Inilah kecemasan versi modern: bukan lagi takut mati, tapi takut gagal, takut tidak dianggap, dan takut tidak sesuai standar yang entah siapa yang membuatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun