Menjadi orang tua tunggal sering kali dilihat sebagai beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Banyak orang membayangkan kehidupan single parent identik dengan rasa lelah, kesepian, dan masa depan yang suram. Namun, pandangan itu tidak pernah bisa mewakili seluruh kenyataan. Ada sisi-sisi yang jauh lebih kompleks, ada lapisan emosional yang tidak selalu terlihat, serta ada pelajaran hidup yang justru lahir dari keterbatasan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sesulit apa sebenarnya menjadi single parent, dan apakah hanya tentang penderitaan, atau justru ada ruang lain yang jarang dibicarakan?
Luka yang Membentuk Keteguhan
Tidak ada orang tua yang bercita-cita menjadi single parent. Jalan ini hampir selalu lahir dari luka. Ada yang harus berpisah karena hubungan tak lagi sehat, ada yang ditinggalkan pasangan untuk selamanya, ada pula yang memilih melanjutkan hidup dengan segala konsekuensi. Luka itu nyata, begitu dalam, dan sering membekas bertahun-tahun. Namun dari luka yang sama, lahirlah keteguhan.
Seorang ibu tunggal yang berangkat pagi pulang malam demi biaya sekolah anak mungkin terlihat kelelahan. Tetapi di balik itu, ada kekuatan untuk tidak menyerah meski banyak pintu tertutup. Seorang ayah tunggal yang tiba-tiba harus belajar memasak, mengganti popok, dan mendampingi anak tidur malam hanyalah gambaran kecil dari keteguhan yang dibangun dari rasa kehilangan.
Keteguhan ini bukan sekadar bertahan hidup. Ia adalah bentuk nyata dari keberanian untuk tetap berjalan meski dunia seakan memaksa berhenti. Luka itu memang menyakitkan, tapi juga membentuk otot mental yang membuat single parent lebih tangguh dibanding banyak orang lain yang hidup dalam kenyamanan.
Stigma yang Tak Pernah Usai
Realitas pahit menjadi single parent bukan hanya tentang urusan finansial atau membesarkan anak seorang diri, tetapi juga menghadapi stigma sosial yang masih kuat melekat. Banyak orang menganggap keluarga tunggal tidak lengkap, bahkan ada yang secara terang-terangan mengaitkan nasib buruk dengan status orang tua tunggal.
Ibu tunggal sering dianggap kurang mampu mendidik anak laki-laki karena tidak ada sosok ayah. Ayah tunggal kerap dipandang dingin dan tidak bisa memberikan kasih sayang seperti ibu. Pandangan sempit ini menambah luka yang seharusnya tidak perlu ada. Komentar dari tetangga, bisikan dari keluarga besar, atau bahkan pertanyaan polos dari teman anak di sekolah sering kali lebih menyakitkan daripada kenyataan yang sebenarnya dihadapi.
Namun stigma itu juga bisa menjadi pemantik. Banyak single parent berusaha membalik pandangan negatif dengan menunjukkan bahwa keluarga tunggal tetap bisa bahagia. Mereka membuktikan bahwa anak bisa tumbuh sehat, cerdas, dan berkarakter meski hanya ada satu sosok orang tua. Perlawanan sunyi ini adalah bukti nyata bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh pandangan masyarakat, melainkan oleh keberanian menjalani pilihan hidup.
Anak dan Pelajaran Hidup yang Tak Tergantikan