Cara kita melihat PLN selama ini selalu sama: perusahaan yang menjual listrik ke masyarakat. Pola pikir ini sebenarnya sudah usang. Di era transisi energi, peran PLN seharusnya lebih luas, yaitu sebagai fasilitator energi bersih. Apa artinya? PLN tidak lagi semata-mata menyalurkan listrik dari pembangkit fosil ke rumah-rumah, tetapi juga membuka pintu bagi masyarakat untuk menghasilkan listrik sendiri.
Bayangkan skenario sederhana. Kamu memasang panel surya di atap rumah. Listrik yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan lebih. Kelebihan energi itu tidak terbuang percuma, tapi bisa disalurkan ke jaringan PLN. PLN kemudian mendistribusikannya ke tempat lain yang membutuhkan. Kamu mendapat insentif atau potongan tagihan, PLN tidak perlu menambah beban pembangkit baru, dan negara mendapat pasokan energi bersih tanpa mengorbankan lingkungan.
Model seperti ini bukan utopia. Di banyak negara, sistem energi berbasis komunitas dan rumah tangga sudah berjalan. Bahkan ada istilah prosumer, gabungan antara producer dan consumer, yang menggambarkan masyarakat sebagai produsen sekaligus konsumen listrik. Pertanyaannya, mengapa konsep ini belum benar-benar didorong di Indonesia? PLN seharusnya melihat ini sebagai peluang bisnis baru, bukan ancaman. Dengan cara itu, beban investasi besar bisa dibagi bersama masyarakat, dan transisi energi bisa melaju lebih cepat.
Tantangan Politik, Ekonomi, dan Budaya Energi
Energi bukan hanya soal teknologi. Lebih dalam lagi, energi adalah soal politik, ekonomi, bahkan budaya. Keputusan untuk tetap mengandalkan batubara bukan semata-mata karena alasan teknis, tetapi juga karena ada kepentingan ekonomi yang besar. Indonesia adalah salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Industri ini memberi pemasukan besar bagi negara sekaligus keuntungan bagi segelintir orang. Tidak mudah bagi pemerintah maupun PLN untuk meninggalkan sumber uang sebesar itu.
Dari sisi politik, transisi energi juga sering dipandang sebagai isu elitis. Banyak masyarakat yang bahkan belum mendapatkan akses listrik stabil, sehingga isu energi surya terasa jauh dari realitas mereka. Padahal justru di daerah terpencil, panel surya bisa menjadi solusi nyata karena tidak perlu menunggu jaringan listrik PLN masuk.
Budaya energi kita juga masih bergantung pada mentalitas murah dan instan. Batubara dianggap murah, meskipun biaya lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkannya sangat besar. Energi surya dianggap mahal, meskipun jangka panjangnya jauh lebih hemat. Paradigma ini harus diubah. Kita perlu mulai melihat energi bukan sekadar angka di tagihan listrik, tetapi sebagai investasi masa depan bangsa.
Menjemput Masa Depan Energi Bersih
Transisi energi bukan pilihan, tapi keharusan. Cepat atau lambat, Indonesia harus beralih ke energi terbarukan. Pertanyaannya tinggal, apakah kita mau jadi pemain utama atau sekadar penonton yang ketinggalan? Dengan sinar matahari yang melimpah, kita punya modal besar untuk menjadi pusat energi bersih di Asia Tenggara.
PLN tidak boleh terus berada di zona nyaman. Peran mereka harus bergeser dari sekadar penyedia listrik fosil menjadi penggerak ekosistem energi surya. Pemerintah juga harus berani membuat regulasi yang jelas, ramah, dan berpihak pada masyarakat. Insentif perlu diperkuat, harga panel surya bisa ditekan dengan produksi lokal, dan kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan.
Matahari tidak pernah berhenti bersinar. Sumber energi itu ada di depan mata, menunggu untuk dimanfaatkan. Pertanyaan sederhana mengapa PLN tidak memanfaatkannya seharusnya menggugah kita semua. Jawabannya bukan karena tidak bisa, tapi karena belum ada keberanian kolektif untuk berubah.