Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Royalti Mencekik, Ancaman atau Jalan Baru bagi Industri Musik Indonesia?

27 Agustus 2025   08:10 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi royalti musik.(Pexels/Brett Sayles)

Musik selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ia menemani perjalanan di kendaraan, menjadi latar suasana di kafe, menghidupkan mal yang ramai, hingga mengisi ruang sunyi di rumah. Namun belakangan, musik justru menjadi sumber polemik. Bukan karena kualitasnya, melainkan soal biaya royalti yang dianggap mencekik pelaku usaha. Banyak kafe, restoran, hingga hotel memilih menutup speaker mereka ketimbang harus membayar biaya tambahan. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem royalti benar-benar mendukung keberlangsungan industri musik, atau justru sedang menggali kuburannya sendiri?

Royalti Antara Hak dan Beban

Hak cipta adalah isu yang tidak bisa dipisahkan dari industri kreatif. Di atas kertas, royalti hadir sebagai bentuk apresiasi yang konkret bagi musisi. Mereka yang menciptakan lagu seharusnya mendapatkan kompensasi ketika karyanya diputar di ruang publik. Bayangan idealnya, musisi bisa hidup layak dari karyanya, tanpa harus selalu manggung atau mencari pekerjaan sampingan.

Tetapi di lapangan, realitas jauh berbeda. Banyak pelaku usaha menganggap kewajiban royalti ini tidak masuk akal. Untuk apa sebuah kafe kecil yang hanya berkapasitas 20 kursi harus membayar royalti dengan tarif hampir sama dengan restoran besar? Bahkan ada yang mengeluh bahwa sistem penagihan royalti lebih mirip pungutan liar karena tidak jelas perhitungannya.

Masalah utama terletak pada rasa ketidakadilan. Regulasi seolah tidak peduli dengan skala usaha. Semua dipukul rata. Di sisi lain, pelaku usaha juga bertanya-tanya ke mana uang itu sebenarnya mengalir. Apakah benar sampai ke musisi, atau berhenti di lembaga yang mengelola hak cipta? Ketidakjelasan inilah yang membuat niat baik berubah menjadi kecurigaan.

Padahal, penghargaan kepada musisi itu penting. Namun ketika penghargaan diwujudkan dalam aturan yang menekan pihak lain, yang muncul bukanlah apresiasi, melainkan resistensi. Musisi merasa tidak dihargai, pengusaha merasa diperas, dan masyarakat jadi saksi dari tarik menarik kepentingan yang tidak kunjung usai.

Ketika Musik Menghilang dari Ruang Publik

Dampak paling nyata dari polemik ini mulai terlihat di ruang publik. Semakin banyak pelaku usaha yang memilih diam. Speaker yang dulu mengalun dengan musik kini hanya jadi pajangan. Kafe yang biasanya hangat dengan suara gitar akustik terasa hambar. Mal yang biasanya riuh dengan musik pop kini hanya berisik oleh langkah kaki dan suara kasir.

Kondisi ini mungkin terlihat sepele, tetapi sebenarnya membawa dampak besar. Musik bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari pengalaman sosial. Ia menciptakan suasana, membangun mood, dan memberi identitas pada sebuah ruang. Tanpa musik, suasana publik kehilangan nyawanya.

Lebih jauh lagi, musik yang absen dari ruang publik berarti musisi kehilangan salah satu jalur distribusi alami. Selama ini, banyak orang mengenal lagu baru justru dari tempat umum. Mendengar sebuah lagu di kafe, merekamnya di ingatan, lalu mencari judulnya di platform digital. Jika musik semakin jarang diputar, kesempatan promosi gratis itu hilang. Musisi bukan hanya kehilangan royalti, tetapi juga kehilangan ruang untuk memperluas pendengar mereka.

Ada efek domino lain yang jarang disadari. Tempat usaha yang kehilangan musik bisa kehilangan pelanggan. Suasana yang kaku membuat orang tidak betah berlama-lama. Jika pelanggan pergi, omzet pun menurun. Ironisnya, aturan yang dimaksudkan untuk melindungi musisi justru bisa mengurangi pendapatan pelaku usaha dan mempersempit ruang promosi musisi itu sendiri.

Musik di ruang publik ibarat oksigen yang membuat suasana hidup. Ketika oksigen itu ditarik karena alasan biaya, semua pihak sebenarnya dirugikan. Yang muncul hanya ruang-ruang sunyi yang kehilangan makna.

Jalan Tengah yang Belum Ditemukan

Persoalan royalti musik di Indonesia bisa diibaratkan seperti pertandingan tarik tambang yang tidak seimbang. Musisi menarik ke arah pengakuan hak, pelaku usaha menarik ke arah keberlangsungan bisnis, sementara pemerintah berdiri di tengah dengan regulasi yang belum matang. Semua merasa benar, semua merasa dirugikan.

Padahal, solusi bisa ditemukan jika ada kemauan untuk berkompromi. Salah satunya melalui skema royalti proporsional. Artinya, biaya royalti disesuaikan dengan kapasitas usaha dan tingkat pemanfaatan musik. Kafe kecil dengan pengunjung terbatas tidak boleh disamakan dengan klub malam besar di pusat kota. Prinsip keadilan harus diterapkan agar tidak ada pihak yang merasa diperas.

Selain itu, transparansi mutlak diperlukan. Saat ini, sistem pengelolaan royalti masih dipandang gelap. Pengusaha tidak tahu apakah musisi benar-benar menerima haknya. Musisi pun sering mengaku tidak pernah merasakan aliran dana itu. Inilah yang membuat sistem ini kehilangan legitimasi. Jika aliran uang bisa dilacak secara terbuka, kepercayaan publik akan meningkat.

Masalah lain yang jarang dibicarakan adalah ketidaksesuaian antara aturan hukum dan perkembangan teknologi. Di era digital, musik bisa dengan mudah diakses melalui platform streaming yang sudah memiliki sistem royalti sendiri. Pertanyaannya, apakah pelaku usaha masih harus membayar royalti ganda ketika mereka sudah berlangganan platform legal? Regulasi harus menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini agar relevan dengan zaman.

Masa Depan Industri Musik di Persimpangan

Industri musik Indonesia sedang berada di titik genting. Jika sistem royalti terus dipaksakan tanpa pembenahan, musik bisa kehilangan ruang hidupnya. Tetapi jika aturan diabaikan, musisi akan terus berada di posisi rentan.

Dalam situasi ini, ada dua kemungkinan masa depan. Pertama, kita akan menyaksikan semakin banyak ruang publik yang sunyi. Musik hanya hidup di ruang privat, di headphone pribadi atau speaker rumah. Ruang sosial kehilangan salah satu unsur pentingnya. Musisi kehilangan pendengar baru, dan industri musik hanya berputar pada lingkaran kecil tanpa berkembang.

Selain itu, masa depan musik Indonesia sangat bergantung pada kemauan kita untuk membangun kesadaran kolektif. Musik bukan hanya produk hiburan, melainkan juga identitas budaya. Jika kita gagal menghargai musisi, kita juga gagal menjaga bagian penting dari kebudayaan kita sendiri. Tetapi jika kita bisa menciptakan sistem yang adil, musik Indonesia bisa tumbuh lebih sehat, mandiri, dan dihargai di rumah sendiri.

Peluang untuk menciptakan model baru terbuka lebar. Dunia digital sudah memberi kita banyak contoh bagaimana ekosistem musik bisa tumbuh tanpa mengorbankan satu pihak. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk keluar dari pola lama dan merancang sistem yang lebih sesuai dengan realitas hari ini.

Menemukan Nada Harmoni

Pada akhirnya, persoalan royalti ini bukan sekadar soal uang. Ia menyangkut nilai penghargaan, rasa keadilan, dan keberlangsungan budaya. Musik seharusnya menjadi harmoni yang menyatukan, bukan sumber konflik yang memecah.

Jika regulasi dibuat lebih proporsional, transparan, dan berpihak pada semua pihak, musik bisa tetap mengalun di ruang publik tanpa menjadi beban. Musisi mendapatkan hak yang layak, pengusaha tetap bisa menjalankan bisnis dengan tenang, dan masyarakat bisa menikmati suasana yang lebih hidup.

Nasib industri musik Indonesia bergantung pada kemampuan kita menemukan keseimbangan ini. Jika kita terus bertahan pada sistem yang kaku, musik akan semakin kehilangan tempatnya. Tetapi jika kita berani mencari cara baru, kita bisa menciptakan ekosistem musik yang lebih sehat, berdaya, dan berkelanjutan.

Musik adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan tidak seharusnya dipisahkan dari musik. Royalti tidak boleh menjadi instrumen yang mencekik, tetapi harus menjadi harmoni yang menghubungkan. Dari sini, masa depan industri musik Indonesia bisa ditentukan: apakah akan sunyi, atau tetap hidup dalam irama yang menyatukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun