Ada efek domino lain yang jarang disadari. Tempat usaha yang kehilangan musik bisa kehilangan pelanggan. Suasana yang kaku membuat orang tidak betah berlama-lama. Jika pelanggan pergi, omzet pun menurun. Ironisnya, aturan yang dimaksudkan untuk melindungi musisi justru bisa mengurangi pendapatan pelaku usaha dan mempersempit ruang promosi musisi itu sendiri.
Musik di ruang publik ibarat oksigen yang membuat suasana hidup. Ketika oksigen itu ditarik karena alasan biaya, semua pihak sebenarnya dirugikan. Yang muncul hanya ruang-ruang sunyi yang kehilangan makna.
Jalan Tengah yang Belum Ditemukan
Persoalan royalti musik di Indonesia bisa diibaratkan seperti pertandingan tarik tambang yang tidak seimbang. Musisi menarik ke arah pengakuan hak, pelaku usaha menarik ke arah keberlangsungan bisnis, sementara pemerintah berdiri di tengah dengan regulasi yang belum matang. Semua merasa benar, semua merasa dirugikan.
Padahal, solusi bisa ditemukan jika ada kemauan untuk berkompromi. Salah satunya melalui skema royalti proporsional. Artinya, biaya royalti disesuaikan dengan kapasitas usaha dan tingkat pemanfaatan musik. Kafe kecil dengan pengunjung terbatas tidak boleh disamakan dengan klub malam besar di pusat kota. Prinsip keadilan harus diterapkan agar tidak ada pihak yang merasa diperas.
Selain itu, transparansi mutlak diperlukan. Saat ini, sistem pengelolaan royalti masih dipandang gelap. Pengusaha tidak tahu apakah musisi benar-benar menerima haknya. Musisi pun sering mengaku tidak pernah merasakan aliran dana itu. Inilah yang membuat sistem ini kehilangan legitimasi. Jika aliran uang bisa dilacak secara terbuka, kepercayaan publik akan meningkat.
Masalah lain yang jarang dibicarakan adalah ketidaksesuaian antara aturan hukum dan perkembangan teknologi. Di era digital, musik bisa dengan mudah diakses melalui platform streaming yang sudah memiliki sistem royalti sendiri. Pertanyaannya, apakah pelaku usaha masih harus membayar royalti ganda ketika mereka sudah berlangganan platform legal? Regulasi harus menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini agar relevan dengan zaman.
Masa Depan Industri Musik di Persimpangan
Industri musik Indonesia sedang berada di titik genting. Jika sistem royalti terus dipaksakan tanpa pembenahan, musik bisa kehilangan ruang hidupnya. Tetapi jika aturan diabaikan, musisi akan terus berada di posisi rentan.
Dalam situasi ini, ada dua kemungkinan masa depan. Pertama, kita akan menyaksikan semakin banyak ruang publik yang sunyi. Musik hanya hidup di ruang privat, di headphone pribadi atau speaker rumah. Ruang sosial kehilangan salah satu unsur pentingnya. Musisi kehilangan pendengar baru, dan industri musik hanya berputar pada lingkaran kecil tanpa berkembang.
Selain itu, masa depan musik Indonesia sangat bergantung pada kemauan kita untuk membangun kesadaran kolektif. Musik bukan hanya produk hiburan, melainkan juga identitas budaya. Jika kita gagal menghargai musisi, kita juga gagal menjaga bagian penting dari kebudayaan kita sendiri. Tetapi jika kita bisa menciptakan sistem yang adil, musik Indonesia bisa tumbuh lebih sehat, mandiri, dan dihargai di rumah sendiri.