Pernahkah kamu merasa heran ketika setiap kali berbelanja, mengisi bensin, bahkan sekadar membeli pulsa, selalu ada potongan kecil bernama pajak? Rakyat terus diminta menyumbang untuk negara dengan dalih demi pembangunan, sementara di sisi lain pemerintah dan institusinya justru sering diberi kelonggaran bahkan dibebaskan dari pajak. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: adilkah sebuah sistem fiskal yang membuat rakyat jadi penopang utama, sedangkan negara seolah bebas dari beban yang sama?
Pajak sebagai Kontrak Sosial yang Retak
Secara teori, pajak adalah kontrak sosial. Rakyat menyerahkan sebagian penghasilan, lalu negara membalasnya dengan fasilitas publik, perlindungan, dan kesejahteraan. Kontrak ini berdiri di atas dua hal: kepercayaan dan rasa adil. Tanpa dua hal itu, pajak tidak lagi dipandang sebagai kontribusi, melainkan beban yang dipaksakan.
Pajak juga sering dikemas sebagai wujud gotong royong modern. Tetapi dalam praktik, gotong royong itu terasa pincang. Rakyat menanggung, negara mengatur. Jika pemerintah ingin rakyat taat, seharusnya pemerintah juga memberi teladan: bukan berarti negara harus membayar pajak kepada dirinya sendiri, melainkan memberi bukti nyata bahwa uang pajak benar-benar kembali kepada rakyat, bukan hilang di meja birokrasi atau di kantong segelintir orang.
Kontrak sosial inilah yang sekarang tampak rapuh. Rakyat membayar, tapi merasa tidak mendapatkan imbalan setimpal. Jalan berlubang, biaya pendidikan mahal, layanan kesehatan antre panjang, sementara di sisi lain pejabat menikmati mobil dinas mewah yang bahkan bebas pajak. Bayangkan betapa timpangnya rasa keadilan itu di mata rakyat biasa.
Rakyat sebagai ATM yang Tak Pernah Habis
Jika dipikir-pikir, rakyat Indonesia seperti ATM berjalan bagi negara. Dari lahir sampai mati, hampir semua aktivitas dipajaki. Bayi lahir dicatat dengan biaya administrasi, orang tua bayar sekolah kena pajak buku, kerja dipotong pajak penghasilan, beli rumah kena pajak properti, bahkan kematian pun tidak lepas dari biaya administrasi dan retribusi. Hidup rakyat dikelilingi pungutan, sementara pemerintah justru sering mengklaim pembebasan pajak demi alasan teknis.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa sebagian besar penerimaan negara memang bergantung pada pajak. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen APBN berasal dari pajak. Jadi, tanpa pajak rakyat, negara bisa lumpuh. Tetapi apakah rakyat merasakan dampak sebanding dari kontribusi besar itu? Di sinilah masalahnya.
Banyak orang masih melihat pajak sebagai instrumen untuk menopang birokrasi, bukan untuk memperkuat kesejahteraan. Ketika mendengar pejabat korupsi dana pajak, atau proyek infrastruktur terbengkalai meski sudah dibiayai pajak, kepercayaan makin tergerus. Rakyat merasa diperah, bukan diajak bekerja sama.
Dalih Teknis di Balik Bebas Pajak
Di atas kertas, alasan pemerintah membebaskan dirinya dari pajak cukup masuk akal. Negara dianggap bukan entitas bisnis, sehingga tidak logis jika uang negara dipajaki lagi oleh negara. Logika ini sederhana: tidak mungkin tangan kiri mengambil dari tangan kanan. Jika sebuah kementerian harus membayar pajak dari anggarannya sendiri, uang itu tetap kembali ke negara. Jadi lebih efisien kalau dipotong saja prosedurnya.
Tetapi argumen ini hanya kuat secara teknis. Secara moral dan sosial, ia menimbulkan kesenjangan. Rakyat tidak peduli dengan kerumitan akuntansi negara. Yang mereka lihat adalah kenyataan sehari-hari: pemerintah bisa menikmati fasilitas bebas pajak, sementara rakyat terkunci dalam kewajiban tanpa kompromi.
Ada satu pandangan segar yang jarang dibahas: masalah ini bukan soal apakah pemerintah harus bayar pajak atau tidak, melainkan soal transparansi dan teladan. Negara boleh bebas pajak secara prosedural, tetapi ia tidak boleh bebas dari kewajiban moral untuk membuktikan bahwa setiap rupiah dari pajak rakyat digunakan dengan adil. Jika pembebasan pajak dipandang hanya menguntungkan birokrasi tanpa jelas manfaatnya untuk rakyat, maka kontrak sosial tadi makin rusak.
Selain itu, pembebasan pajak untuk institusi pemerintah sering dipakai secara berlebihan. Misalnya dalam proyek-proyek besar, kontraktor swasta yang bekerja sama dengan pemerintah kadang ikut mendapat fasilitas keringanan. Akhirnya, siapa yang paling dirugikan? Rakyat, karena potensi penerimaan berkurang.
Keadilan Fiskal Harus Ditegakkan
Salah satu pilar penting agar sistem perpajakan berjalan sehat adalah keadilan fiskal. Konsepnya jelas: semua pihak memikul beban sesuai kemampuan. Namun realitas di lapangan sering menunjukkan sebaliknya. UMKM yang omzetnya hanya cukup untuk bertahan hidup tetap dikenakan pajak final, sementara perusahaan besar bisa mencari celah lewat tax planning atau bahkan mendapat insentif.
Ketidakadilan ini membuat rasa skeptis rakyat makin kuat. Jika rakyat kecil terus dipajaki, sementara pemerintah dan kalangan tertentu justru diberi kelonggaran, maka kepercayaan runtuh. Padahal, tanpa kepercayaan, sistem pajak akan rapuh. Negara bisa saja mengandalkan ancaman sanksi, tapi itu tidak menciptakan loyalitas. Yang bisa menumbuhkan loyalitas hanyalah rasa adil.
Di negara maju, tingkat kepatuhan pajak tinggi karena rakyat melihat manfaat langsung. Pajak yang mereka bayar kembali dalam bentuk transportasi publik yang murah, layanan kesehatan yang mudah, dan pendidikan gratis. Transparansi juga terjaga, sehingga rakyat tahu uang mereka tidak disalahgunakan.
Indonesia perlu belajar dari situ. Jika ingin rakyat taat pajak, jangan hanya menekan mereka dengan kewajiban. Negara harus menunjukkan bahwa ia juga "membayar" dalam bentuk integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Itulah pajak moral yang jauh lebih penting dibanding beban fiskal.
Menagih Tanggung Jawab Moral Pemerintah
Pada akhirnya, masalah utama bukan sekadar teknis bebas pajak. Yang lebih mendasar adalah tanggung jawab moral pemerintah. Jika negara merasa berhak membebaskan diri dari pajak, maka sebagai gantinya ia harus membayar utang moral kepada rakyat: memastikan uang pajak benar-benar kembali dalam bentuk kesejahteraan.
Rakyat bukan menolak pajak. Sebagian besar orang paham bahwa tanpa pajak, negara tidak bisa berjalan. Yang mereka tuntut adalah keadilan dan kejelasan. Jangan sampai rakyat terus dipajaki, tetapi melihat pejabat berfoya-foya dengan fasilitas bebas pajak. Jangan sampai rakyat terus dipotong penghasilannya, sementara negara menghambur-hamburkan uang pada proyek yang tidak jelas manfaatnya.
Sudah saatnya paradigma baru dibangun. Negara memang tidak perlu membayar pajak kepada dirinya sendiri, tapi negara harus menunjukkan teladan dengan mengelola setiap rupiah pajak dengan bersih. Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban. Pemerintah harus bisa membuka data penggunaan pajak secara detail, mudah diakses, dan diawasi publik.
Rakyat akan rela membayar pajak jika mereka percaya. Tetapi jika kontrak sosial ini terus dipermainkan, bukan tidak mungkin muncul perlawanan diam-diam: kepatuhan pajak rendah, praktik penghindaran pajak meningkat, dan negara akhirnya rugi sendiri.
Pajak adalah kontrak sosial. Jika pemerintah menuntut rakyat patuh, maka pemerintah juga harus patuh pada janji utamanya: melindungi, menyejahterakan, dan berlaku adil. Bebas pajak bukan berarti bebas tanggung jawab.
Penutup
Rakyat yang terus dipajaki sementara pemerintah dikecualikan memang menimbulkan dilema keadilan. Secara teknis, negara tidak wajib membayar pajak kepada dirinya sendiri. Namun secara moral, pemerintah justru memiliki kewajiban lebih besar untuk membuktikan integritasnya. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat adalah "pajak" yang wajib dibayar setiap hari.
Kalau negara ingin rakyat patuh, maka negara juga harus adil. Karena kepercayaan hanya bisa lahir dari rasa keadilan yang nyata. Tanpa itu, pajak hanya akan dianggap beban, bukan kontribusi bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI