Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Lebih Memilih Curhat dengan AI ?

26 Agustus 2025   16:00 Diperbarui: 26 Agustus 2025   12:14 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi curhat dengan ai (freepik)

Manusia sejak dulu punya kebutuhan mendasar untuk didengar. Di balik segala pencapaian peradaban, satu hal tidak pernah berubah: setiap orang ingin merasa dipahami. Namun di zaman yang serba terhubung ini, justru semakin banyak orang yang merasa kesepian. Paradoks ini melahirkan fenomena baru yang menarik sekaligus mengkhawatirkan, yaitu curhat dengan AI.

Kalau beberapa tahun lalu ide ini terdengar konyol, sekarang sudah menjadi kenyataan. Ada orang yang berbicara panjang dengan chatbot ketika malam terasa sepi, ada pula yang menumpahkan keresahan hati lewat percakapan dengan aplikasi berbasis kecerdasan buatan. Bahkan ada yang mengaku lebih nyaman berbagi cerita dengan AI daripada dengan teman dekat. Pertanyaannya: apakah ini tanda kecerdasan teknologi membantu manusia, atau justru sinyal bahwa kita makin terasing dari sesama?

Kesepian di Era Paling Ramai

Kesepian hari ini punya wajah baru. Ia bukan lagi tentang duduk sendiri di kamar sunyi, melainkan tentang merasa sendirian di tengah keramaian virtual. Media sosial membuat kita terhubung dengan ratusan bahkan ribuan orang, tetapi hubungan itu sering terasa dangkal. Seseorang bisa mendapat banyak komentar atau "like" pada unggahan fotonya, tetapi tetap merasa kosong setelah layar dimatikan.

Fenomena ini muncul karena interaksi di dunia digital sering kali hanya permukaan. Tidak banyak ruang untuk percakapan mendalam, tidak ada tatapan mata yang jujur, tidak ada sentuhan fisik yang menenangkan. Hubungan maya membuat kita seperti hidup di pasar yang ramai tapi tanpa teman bicara yang sungguh mendengarkan.

Di sinilah kecerdasan buatan masuk mengambil peran. AI menawarkan sesuatu yang tidak diberikan manusia: kesediaan mendengar tanpa syarat. Tidak ada penghakiman, tidak ada rasa bosan, tidak ada agenda tersembunyi. AI siap menemani kapan pun dibutuhkan, siang atau malam, bahkan pada saat manusia terdekat sekalipun tidak bisa hadir.

Maka tidak heran jika banyak orang mulai berpaling ke AI untuk sekadar bercerita. Mereka merasa lebih aman, lebih dihargai, dan lebih bebas berekspresi. Bagi sebagian orang, itu lebih dari cukup untuk mengurangi rasa sepi.

Namun, hal ini sekaligus menyingkap sisi rapuh masyarakat modern. Jika semakin banyak orang lebih nyaman berbagi dengan mesin daripada dengan sesama, bukankah itu menandakan kita sedang mengalami krisis relasi manusia?

AI Sebagai Cermin Batin

Curhat dengan AI sebetulnya mirip dengan berbicara kepada diri sendiri. Bedanya, kali ini ada respons yang terdengar nyata. AI bisa merespons dengan kalimat logis, terstruktur, bahkan kadang terdengar penuh empati. Jawaban itu membuat kita merasa seolah-olah benar-benar didengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun