Pendidikan di Indonesia sering dibungkus dengan narasi indah tentang kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk semua anak. Sekolah digambarkan sebagai tempat netral, tanpa perbedaan, di mana setiap siswa punya hak yang setara untuk berkembang. Namun, realitas di lapangan kadang jauh dari gambaran itu. Di banyak sekolah, diskriminasi bukan hanya ada, tapi seolah menjadi bagian dari budaya yang terus diulang. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, banyak yang sudah menganggapnya wajar.
Artikel ini mencoba mengupas fenomena diskriminasi di sekolah dari sisi yang jarang dibahas. Kita akan melihat bagaimana diskriminasi bisa mengakar, dampaknya yang jauh melampaui masa sekolah, serta gagasan baru untuk mengubah pola pikir dan sistem agar sekolah menjadi ruang yang benar-benar inklusif.
Diskriminasi yang Tersembunyi tapi Nyata
Ketika mendengar kata diskriminasi di sekolah, banyak orang langsung membayangkan kasus besar yang viral di media sosial: guru yang mempermalukan murid, senior yang membully junior, atau siswa miskin yang diejek teman-temannya. Namun diskriminasi tidak selalu sejelas itu.
Di balik pintu kelas, bentuk diskriminasi sering kali halus dan terjadi setiap hari. Misalnya, guru yang lebih sering menunjuk siswa berprestasi untuk menjawab pertanyaan, sementara siswa yang dianggap kurang pintar jarang diberi kesempatan berbicara. Atau ketika sekolah memberikan fasilitas ekstra hanya kepada murid yang sering juara, padahal semua murid juga berhak merasakan dukungan penuh untuk berkembang.
Yang lebih ironis, banyak guru atau pihak sekolah yang tidak sadar bahwa perlakuan mereka mengandung bias. Mereka mungkin berpikir sedang memotivasi murid, padahal yang terjadi adalah membangun tembok pemisah yang membuat sebagian siswa merasa mereka tidak cukup layak.
Diskriminasi juga bisa berwujud dalam bentuk ekspektasi yang berbeda. Anak dari keluarga yang dianggap mampu mungkin diperlakukan dengan lebih hormat, sedangkan anak dari keluarga sederhana sering kali mendapat perlakuan seolah-olah mereka tidak akan mampu mencapai prestasi tinggi. Ini membentuk suasana kelas yang tidak setara sejak awal.
Mengapa Diskriminasi Bisa Menjadi Budaya Sekolah
Banyak yang menganggap diskriminasi di sekolah hanya masalah individu, entah guru yang kurang sensitif atau siswa yang tidak sopan. Padahal, kalau ditelusuri lebih dalam, ini adalah masalah sistemik yang berulang dari generasi ke generasi.
Salah satu alasan diskriminasi bisa menjadi budaya adalah karena pola pikir masyarakat yang masih sangat menilai orang dari pencapaian akademik atau status sosial. Sekolah pun, sebagai bagian dari masyarakat, tanpa sadar mewarisi pola pikir ini. Akibatnya, sistem penilaian di sekolah cenderung memprioritaskan murid yang memenuhi standar ideal seperti nilai tinggi, penampilan rapi, dan latar belakang keluarga yang stabil.