Selain itu, tidak semua tenaga pendidik mendapat pelatihan untuk memahami keragaman siswa. Banyak guru yang sebenarnya punya niat baik, tapi tidak dibekali pengetahuan bagaimana mengelola perbedaan kemampuan, karakter, dan latar belakang siswa tanpa jatuh ke dalam diskriminasi.
Ada juga pengaruh dari struktur pendidikan yang terlalu menekan pencapaian akademik dibanding pembentukan karakter. Di banyak sekolah, siswa pintar dianggap aset sekolah, sementara siswa yang tidak unggul akademik justru dipandang beban. Dari sinilah lahir perlakuan yang berbeda dan akhirnya membentuk budaya tidak tertulis yang sulit diubah.
Dampak Jangka Panjang yang Jarang Disadari
Banyak yang menganggap diskriminasi di sekolah hanya meninggalkan luka sementara. Setelah lulus, semua akan berlalu. Padahal, kenyataannya jauh lebih rumit.
Siswa yang selama bertahun-tahun diperlakukan sebagai kelas dua akan membawa perasaan rendah diri itu ke dunia luar. Mereka mungkin merasa pendapatnya tidak penting atau kemampuannya selalu kalah dibanding orang lain. Dampak ini bisa mempengaruhi karier, hubungan sosial, bahkan kesehatan mental mereka di masa depan.
Sebaliknya, siswa yang terus-menerus diistimewakan bisa tumbuh menjadi pribadi yang arogan, sulit menerima kritik, dan cenderung meremehkan orang lain. Mereka mungkin sukses di awal karena percaya diri, tapi akan kesulitan beradaptasi ketika masuk ke lingkungan yang lebih beragam dan kompetitif di dunia kerja.
Lebih luas lagi, diskriminasi di sekolah ikut melanggengkan kesenjangan sosial. Anak-anak yang sejak kecil dibiasakan merasa kurang atau lebih dari orang lain akan membawa pola pikir itu ke masyarakat. Akhirnya, kita punya generasi yang sulit memahami arti kesetaraan dan empati.
Membongkar Pola Pikir yang Mengakar
Salah satu langkah paling penting untuk menghentikan diskriminasi di sekolah adalah membongkar pola pikir yang sudah mengakar. Ini bukan hanya soal mengubah perilaku guru atau siswa, tapi juga soal mengubah cara kita memandang pendidikan.
Sekolah tidak seharusnya menjadi arena kompetisi yang hanya memberi panggung pada segelintir bintang kelas. Sebaliknya, sekolah harus menjadi tempat di mana semua anak merasa dihargai dan diberi ruang untuk berkembang sesuai potensinya masing-masing.
Pola pikir ini membutuhkan keberanian untuk menggeser fokus dari sekadar nilai akademik menuju pembentukan karakter, keterampilan sosial, dan kemampuan berpikir kritis. Apresiasi juga harus diberikan secara adil, bukan hanya kepada mereka yang mencapai prestasi akademik tinggi, tapi juga kepada yang menunjukkan empati, kreativitas, atau ketekunan dalam belajar.