Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Rajin Menarik Pajak Tapi Tidak Hadir Saat Rakyat Butuh Kerja

11 Juli 2025   05:30 Diperbarui: 10 Juli 2025   22:26 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengangguran, (SHUTTERSTOCK/LUNA VANDOORNE )

Di tengah derasnya tuntutan hidup dan kompetisi pasar kerja yang semakin kejam, satu fakta terasa makin mencolok rakyat dibiarkan bersaing sendiri mencari penghidupan, sementara negara tetap hadir bukan untuk membantu, tapi untuk menagih. Negara tampak absen saat pengangguran meningkat, pendidikan tak lagi menjamin pekerjaan, dan generasi muda kehilangan arah. Tapi begitu seseorang bekerja, negara segera datang, bukan membawa solusi, tapi menagih pajak.

Negara Hadir Saat Rakyat Sudah Mandiri, Tapi Menghilang Saat Mereka Butuh

Kita tumbuh dengan harapan bahwa negara adalah pengayom, pelindung, bahkan penyedia keadilan. Tapi kenyataan seringkali tak seindah itu. Ketika seseorang menganggur, putus asa mencari kerja, atau berjuang bertahan dengan kerja serabutan, negara nyaris tak terlihat. Tak ada kepastian bantuan, pelatihan kerja yang relevan, apalagi jaminan akan ditempatkan di lapangan kerja yang layak. Namun anehnya, begitu rakyat berhasil mendapatkan pekerjaan dari hasil usaha sendiri entah sebagai karyawan, freelancer, atau pengusaha kecil negara tiba-tiba datang menagih haknya dalam bentuk pajak.

Ini menciptakan rasa frustrasi yang dalam. Bukan karena rakyat enggan membayar pajak, tapi karena kontribusi itu terasa timpang. Ibarat seseorang yang tiba-tiba ikut makan setelah kamu susah payah memasak sendiri tanpa bantuan. Negara hadir di hasil, tapi tak terlibat dalam proses. Dan ini bukan hanya masalah keadilan, tapi cermin dari relasi kekuasaan yang timpang antara negara dan rakyatnya.

Rasa ketidakadilan ini semakin kentara ketika melihat data pengangguran terbuka yang masih tinggi, terutama di kalangan muda. Banyak yang berpendidikan tinggi namun tak memiliki akses pekerjaan yang sepadan. Di sisi lain, regulasi pajak makin rapi, makin canggih, makin efisien. Negara seperti lebih fokus memaksimalkan pendapatan, bukan memberdayakan rakyat. Ini menunjukkan bahwa sistem lebih peduli pada kontrol dan penarikan, bukan pemberdayaan.

 Negara Memaksa Rakyat Bertahan Sendiri, Lalu Menagih Kontribusi

Ada narasi umum yang semakin kuat belakangan ini: rakyat harus mandiri, jangan bergantung pada negara. Konsep ini sering dikaitkan dengan semangat wirausaha, daya saing global, dan kreativitas individu. Tapi di balik narasi indah itu, terselip kenyataan pahit negara perlahan melepaskan tanggung jawab dasarnya.

Pendidikan mahal dan tidak selalu relevan dengan kebutuhan industri. Akses modal terbatas hanya bagi yang sudah punya koneksi atau agunan. Lapangan kerja justru lebih banyak disumbang sektor informal dan ekonomi digital, yang tumbuh karena kegigihan rakyat sendiri. Di sinilah terjadi pergeseran diam-diam: negara menuntut rakyat untuk tangguh, tapi tidak memberi dukungan yang cukup agar mereka bisa bangkit.

Saat seorang anak muda membuka usaha kecil dari nol, dia tidak mendapat pelatihan, tidak ada subsidi, tidak ada perlindungan hukum. Tapi begitu usahanya tumbuh, ia dikenai pajak, diharuskan mengurus izin, dan diawasi regulasi. Ini bukan dorongan kewirausahaan, ini adalah bentuk ekstraksi.

Negara harusnya menjadi mitra. Tapi kini, ia lebih menyerupai aparat pemungut yang menonton dari kejauhan lalu datang ketika uang mulai mengalir. Apakah ini bentuk negara yang kita impikan? Apakah fungsi negara memang sebatas sebagai penonton yang menagih tiket masuk?

Pajak Bukan Masalah, Tapi Ketimpangan Peran Negara yang Jadi Soal

Mari kita luruskan pajak adalah hal wajar. Pajak adalah bentuk gotong royong modern. Masalahnya bukan pada pajak itu sendiri, tapi pada rasa ketidakadilan dalam penggunaannya dan peran negara yang timpang.

Saat kamu bekerja keras, membangun dari nol, dan negara datang hanya untuk mengambil tanpa pernah membantu di awal, di situlah muncul frustrasi. Negara mengklaim bagian dari hasil, tapi tidak pernah ada di proses perjuangannya. 

Lihat bagaimana negara-negara yang sukses mengelola pajaknya. Di negara-negara Skandinavia misalnya, pajak tinggi diimbangi dengan pelayanan publik berkualitas, pendidikan gratis, akses kesehatan universal, dan program pelatihan kerja yang disesuaikan kebutuhan pasar. Rakyat merasa dihargai, karena negara hadir sejak mereka mulai, bukan hanya ketika mereka sudah sukses.

Kondisi di Indonesia sangat berbeda. Banyak warga tidak tahu ke mana uang pajak mereka digunakan. Transparansi masih minim, pengawasan lemah, dan program-program pemerintah sering tidak tepat sasaran. Bahkan bantuan untuk UMKM pun sering jatuh ke tangan yang salah. Dalam sistem seperti ini, wajar bila muncul pertanyaan: mengapa harus membayar pada negara yang tak pernah hadir saat rakyat jatuh?

Rakyat Tidak Anti Pajak, Tapi Butuh Negara yang Hadir dari Awal

Kita sering keliru menganggap bahwa kritik terhadap pajak berarti penolakan terhadap kewajiban. Padahal, mayoritas rakyat tidak menolak membayar pajak. Mereka hanya ingin keadilan dan keterlibatan yang lebih seimbang.

Ketika negara hadir hanya sebagai penagih, bukan sebagai pemberdaya, yang terjadi bukan hanya ketidakpuasan, tapi juga alienasi sosial. Rakyat merasa sendirian. Mereka merasa negara hanya peduli pada statistik, bukan pada manusia di balik angka-angka itu.

Untuk mengubah situasi ini, negara harus mulai dari yang paling mendasar: hadir sejak awal. Ketika seseorang lulus sekolah dan mencari kerja, negara harus menyediakan ekosistem yang mendukung. Ketika ada pengusaha kecil yang ingin mulai, negara harus memberi pelatihan, perlindungan, dan akses permodalan. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, negara harus menyediakan jaring pengaman sosial yang nyata, bukan sekadar retorika.

Kehadiran negara sejak awal membuat pajak menjadi wajar. Karena kontribusi itu lahir dari rasa saling memiliki. Pajak bukan lagi kewajiban kosong, tapi bentuk nyata dari kerja sama antara rakyat dan negaranya. Pajak bukan soal uang, tapi soal relasi sosial dan rasa adil.

Negara Sebagai Mitra, Bukan Sekadar Penarik Pajak

Sudah waktunya kita membongkar cara pandang lama yang menempatkan negara sebagai entitas di atas rakyat. Negara bukan penguasa, rakyat bukan objek. Negara adalah mitra. Dan mitra sejati hadir dari awal, bukan hanya datang saat pembagian hasil.

Kebijakan publik harus berangkat dari pemahaman bahwa rakyat tidak butuh dikasihani, tapi dimampukan. Negara tidak harus menciptakan pekerjaan secara langsung, tapi wajib membuka jalan agar pekerjaan bisa tumbuh. Negara tidak harus memberi uang, tapi harus menyediakan sistem agar rakyat bisa mandiri secara bermartabat.

Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal martabat manusia. Ketika negara tidak hadir dalam fase paling rentan dalam hidup warganya saat mereka menganggur, jatuh, memulai usaha kecil maka yang terbentuk bukan masyarakat yang kuat, tapi masyarakat yang terluka.

Paradigma ini harus diubah. Negara harus kembali ke peran dasarnya: menjamin keadilan sosial, bukan hanya mengejar penerimaan negarai. Dan untuk itu, negara harus mulai mendengar lebih banyak, hadir lebih awal, dan bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa ia benar-benar ada untuk rakyatnya.

Penutup

Tidak ada yang menolak membayar pajak jika mereka merasa negara juga ikut berjuang bersama mereka. Keadilan fiskal hanya mungkin jika negara ikut hadir sejak awal proses perjuangan rakyat, bukan hanya di ujung ketika keuntungan mulai terlihat. Kritik terhadap sistem ini bukan berarti melawan negara, tapi justru tanda bahwa rakyat masih peduli, masih ingin negara berubah menjadi lebih baik.

Sudah saatnya kita tidak lagi menerima keadaan ini sebagai hal biasa. Paradoks di mana negara tidak membantu rakyat mendapatkan pekerjaan namun menagih haita sebagai bangsa. Dan perubahan itu hanya bisa terjadi jika kita, sebagai rakyat, terussil kerja mereka bukan hanya salah secara moral, tapi juga melemahkan semangat kolektif k bersuara dan menuntut peran negara yang lebih adil dan setara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun