Sayangnya, kesadaran ini belum cukup. Banyak pengunjung CFD yang datang bukan untuk mendukung gaya hidup hijau, melainkan sekadar untuk jogging, kulineran, atau nongkrong. Bahkan ironisnya, banyak pedagang di CFD menggunakan genset berbahan bakar bensin, yang tentu bertolak belakang dengan semangat pengurangan emisi.
CFD di Antara Simbolisme dan Potensi Nyata
Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah kekuatan simbolik dari CFD. Secara visual, CFD adalah panggung yang memperlihatkan kepada publik bahwa kota bisa terlihat berbeda tanpa kendaraan bermotor. Ini menjadi gambaran imajinatif akan kota masa depan: jalan raya untuk manusia, bukan hanya untuk mesin.
Namun, simbolisme ini belum cukup kuat untuk mengubah perilaku secara massal. Ini karena CFD masih berdiri sendiri sebagai event mingguan, bukan bagian dari strategi terintegrasi jangka panjang. Kita belum melihat keterkaitan langsung antara CFD dan kebijakan transportasi publik, pembatasan kendaraan pribadi, atau insentif kendaraan listrik.
Di negara-negara seperti Belanda dan Denmark, kebijakan "car-free" bukan hanya event mingguan. Ia diintegrasikan dengan infrastruktur sepeda, prioritas untuk pejalan kaki, dan pembatasan ketat untuk kendaraan bermotor di pusat kota. Artinya, ada ekosistem yang dibangun secara serius dan konsisten. CFD di Indonesia masih belum punya fondasi sekuat itu.
Maka dari itu, jika CFD hanya berdiri sendiri, tanpa dukungan regulasi dan kebijakan yang lebih luas, ia hanya akan jadi panggung mingguan yang tidak menyentuh akar masalah. Ia akan tetap menarik secara visual, tapi tak cukup berdampak secara struktural.
Apa yang Bisa Dilakukan agar CFD Tidak Sekadar Gimik?
Bicara soal solusi, CFD punya potensi besar bila dikelola lebih serius. Pertama-tama, perlu ada upaya untuk mengintegrasikan CFD ke dalam kebijakan transportasi kota. CFD bisa dijadikan sarana uji coba atau laboratorium terbuka bagi rencana pembatasan kendaraan bermotor secara lebih permanen di area-area tertentu.
Kota bisa menggunakan CFD sebagai titik awal untuk memperkenalkan konsep Low Emission Zone (LEZ), di mana hanya kendaraan rendah emisi atau listrik yang boleh melintas. Ini bisa dilakukan secara bertahap, mulai dari seminggu sekali, lalu diperluas menjadi beberapa hari, dan seterusnya.
Pemerintah daerah juga bisa memanfaatkan CFD sebagai ruang edukasi. Misalnya dengan menyediakan booth informasi tentang kualitas udara, efek polusi terhadap kesehatan, atau pentingnya beralih ke moda transportasi publik dan ramah lingkungan. Edukasi seperti ini akan jauh lebih efektif jika didukung oleh data real-time, seperti sensor kualitas udara yang ditampilkan secara terbuka di lokasi CFD.
Selain itu, kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung semangat CFD, seperti penggunaan genset, pembakaran sampah, atau musik dengan sound system besar yang ditenagai bensin, sebaiknya dilarang. Jika perlu, CFD bisa dijaga dengan regulasi ketat agar benar-benar konsisten dengan semangat pengurangan polusi.