Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

CFD Solusi Hijau atau Sekadar Gimik Mingguan?

15 Juni 2025   07:19 Diperbarui: 15 Juni 2025   06:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi CFD (KOMPAS.com/DINDA AULIA RAMADHANTY)

Kota-kota besar di Indonesia sudah lama dikepung oleh hiruk-pikuk kendaraan bermotor dan asap yang menyesakkan. Di tengah tantangan polusi udara yang kian menggila, muncul satu agenda rutin yang terlihat menjanjikan: Car Free Day (CFD). Di hari itu, jalanan yang biasanya padat kendaraan tiba-tiba lengang. Orang-orang bersepeda, berjalan kaki, atau sekadar bersantai menikmati suasana kota yang berbeda dari biasanya.

Tapi pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah CFD sungguh membantu mengurangi polusi lingkungan atau hanya jadi rutinitas simbolik tanpa hasil nyata?

Menggali Akar Masalah Polusi Udara di Kota Besar

Polusi udara di kota-kota besar bukanlah isu baru, tapi belakangan ini kondisinya semakin parah. Jakarta, misalnya, sempat menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia menurut IQAir. Dalam udara yang kita hirup sehari-hari tersembunyi partikel-partikel mikro yang tak terlihat mata, namun bisa merusak paru-paru secara perlahan.

Sumber utama dari polusi ini tak lain berasal dari kendaraan bermotor. Gas buang dari mobil dan motor menghasilkan karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrokarbon, dan partikulat halus yang bisa masuk langsung ke sistem pernapasan. Efek jangka panjangnya mencakup asma, penyakit jantung, bahkan kanker paru.

Di tengah krisis ini, CFD hadir dengan niat baik: mengurangi emisi gas buang dari kendaraan dengan menghentikan aktivitas lalu lintas di ruas jalan tertentu pada waktu tertentu. Tapi, apakah langkah ini cukup?

CFD dan Dampak Langsungnya Terhadap Kualitas Udara

Secara teoritis, menghentikan kendaraan bermotor dari satu area dalam satu hari tertentu memang akan mengurangi emisi di titik itu. Dan memang benar, berbagai studi singkat di beberapa kota menunjukkan adanya penurunan konsentrasi polutan seperti PM2.5 dan PM10 selama pelaksanaan CFD.

Namun, penurunan ini hanya bersifat sementara. Begitu CFD berakhir dan jalan dibuka kembali, kendaraan kembali berdatangan, dan polusi pun naik lagi ke tingkat semula---atau bahkan lebih tinggi karena kemacetan di jalan-jalan alternatif yang harus menampung volume kendaraan yang dialihkan.

Di sisi lain, CFD juga membawa efek psikologis yang penting: pengalaman merasakan udara yang lebih bersih dan jalan yang lebih tenang membuat sebagian masyarakat menyadari betapa sesaknya udara yang mereka hirup selama ini. Ini menciptakan ruang dialog, walau masih terbatas, untuk membicarakan solusi jangka panjang.

Sayangnya, kesadaran ini belum cukup. Banyak pengunjung CFD yang datang bukan untuk mendukung gaya hidup hijau, melainkan sekadar untuk jogging, kulineran, atau nongkrong. Bahkan ironisnya, banyak pedagang di CFD menggunakan genset berbahan bakar bensin, yang tentu bertolak belakang dengan semangat pengurangan emisi.

CFD di Antara Simbolisme dan Potensi Nyata

Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah kekuatan simbolik dari CFD. Secara visual, CFD adalah panggung yang memperlihatkan kepada publik bahwa kota bisa terlihat berbeda tanpa kendaraan bermotor. Ini menjadi gambaran imajinatif akan kota masa depan: jalan raya untuk manusia, bukan hanya untuk mesin.

Namun, simbolisme ini belum cukup kuat untuk mengubah perilaku secara massal. Ini karena CFD masih berdiri sendiri sebagai event mingguan, bukan bagian dari strategi terintegrasi jangka panjang. Kita belum melihat keterkaitan langsung antara CFD dan kebijakan transportasi publik, pembatasan kendaraan pribadi, atau insentif kendaraan listrik.

Di negara-negara seperti Belanda dan Denmark, kebijakan "car-free" bukan hanya event mingguan. Ia diintegrasikan dengan infrastruktur sepeda, prioritas untuk pejalan kaki, dan pembatasan ketat untuk kendaraan bermotor di pusat kota. Artinya, ada ekosistem yang dibangun secara serius dan konsisten. CFD di Indonesia masih belum punya fondasi sekuat itu.

Maka dari itu, jika CFD hanya berdiri sendiri, tanpa dukungan regulasi dan kebijakan yang lebih luas, ia hanya akan jadi panggung mingguan yang tidak menyentuh akar masalah. Ia akan tetap menarik secara visual, tapi tak cukup berdampak secara struktural.

Apa yang Bisa Dilakukan agar CFD Tidak Sekadar Gimik?

Bicara soal solusi, CFD punya potensi besar bila dikelola lebih serius. Pertama-tama, perlu ada upaya untuk mengintegrasikan CFD ke dalam kebijakan transportasi kota. CFD bisa dijadikan sarana uji coba atau laboratorium terbuka bagi rencana pembatasan kendaraan bermotor secara lebih permanen di area-area tertentu.

Kota bisa menggunakan CFD sebagai titik awal untuk memperkenalkan konsep Low Emission Zone (LEZ), di mana hanya kendaraan rendah emisi atau listrik yang boleh melintas. Ini bisa dilakukan secara bertahap, mulai dari seminggu sekali, lalu diperluas menjadi beberapa hari, dan seterusnya.

Pemerintah daerah juga bisa memanfaatkan CFD sebagai ruang edukasi. Misalnya dengan menyediakan booth informasi tentang kualitas udara, efek polusi terhadap kesehatan, atau pentingnya beralih ke moda transportasi publik dan ramah lingkungan. Edukasi seperti ini akan jauh lebih efektif jika didukung oleh data real-time, seperti sensor kualitas udara yang ditampilkan secara terbuka di lokasi CFD.

Selain itu, kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung semangat CFD, seperti penggunaan genset, pembakaran sampah, atau musik dengan sound system besar yang ditenagai bensin, sebaiknya dilarang. Jika perlu, CFD bisa dijaga dengan regulasi ketat agar benar-benar konsisten dengan semangat pengurangan polusi.

CFD juga bisa menjadi ajang uji coba moda transportasi alternatif. Misalnya, menyediakan sepeda gratis, shuttle bus listrik, atau bahkan memperkenalkan kendaraan berbasis tenaga surya. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya diajak untuk berhenti menggunakan kendaraan, tapi juga dikenalkan pada opsi transportasi masa depan.

Mengubah Perspektif Dari CFD ke Gerakan Kolektif

Yang terpenting dari semuanya, CFD harus dimaknai bukan sebagai hari bebas kendaraan, tapi sebagai momentum membebaskan diri dari ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Ini soal cara pandang. Ketika masyarakat masih menganggap mobil pribadi sebagai simbol status dan kenyamanan, maka perjuangan mengurangi polusi akan selalu berat.

Mengubah kebiasaan tidak cukup dengan larangan atau aturan. Dibutuhkan narasi baru: bahwa berjalan kaki, bersepeda, atau naik transportasi publik bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga keren, sehat, dan modern.

Pemerintah punya peran penting dalam membentuk narasi ini. Jika CFD dikaitkan dengan program pengembangan transportasi publik yang lebih baik, pemanfaatan energi terbarukan, dan desain kota yang manusiawi, maka pelan tapi pasti, masyarakat akan mulai melihat CFD bukan sebagai event mingguan, tapi sebagai awal dari transformasi kota.

Yang kita butuhkan bukan hanya jalan yang bebas dari kendaraan satu hari dalam seminggu. Kita butuh kota yang setiap hari lebih ramah bagi manusia, bukan mesin. CFD adalah langkah kecil ke arah itu asal kita tidak berhenti di sana.

Penutup

CFD bukan solusi akhir, tapi ia bisa menjadi langkah awal yang kuat jika dijalankan dengan visi yang jelas. Ia harus berubah dari sekadar kegiatan rutin menjadi bagian dari gerakan kolektif untuk merebut kembali kota dari dominasi mesin. Dari CFD, kita bisa mulai membayangkan sebuah kota yang lebih tenang, lebih sehat, dan lebih manusiawi.

Apakah kita siap meninggalkan kenyamanan semu kendaraan pribadi demi udara yang lebih bersih? Atau kita akan terus menikmati CFD sebagai tontonan mingguan, tanpa pernah benar-benar berubah?

Jawabannya ada pada bagaimana kita memilih melihat CFD sebagai gimik atau sebagai kesempatan. Sebab, yang kita butuhkan bukan hanya udara yang bersih hari Minggu pagi, tapi lingkungan yang layak huni setiap hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun