Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paylater dan Gaya Hidup Konsumtif Penggunanya

5 Juni 2025   12:12 Diperbarui: 5 Juni 2025   12:12 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi paylater.(DOK. Istimewa)

Menurut data yang dirilis oleh Bank Indonesia, 1 dari 3 pengguna paylater di Indonesia mengaku tidak tahu berapa total utang yang mereka miliki. Ini menunjukkan lemahnya literasi keuangan digital, yang ironisnya justru berkembang di tengah masyarakat yang sangat aktif menggunakan teknologi.

Perusahaan fintech sebagai penyedia layanan paylater memang memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan risiko produk mereka. Namun sering kali edukasi tersebut disampaikan dalam bahasa hukum yang sulit dipahami atau disisipkan dalam syarat dan ketentuan panjang yang jarang dibaca.

Akibatnya, banyak orang yang tidak sadar bahwa keterlambatan satu bulan saja bisa membuat tagihan membengkak drastis. Dan ketika itu terjadi, tidak sedikit yang akhirnya terjerat utang lebih dalam, berpindah dari satu layanan ke layanan lain hanya untuk menutup utang sebelumnya fenomena yang disebut "gali lubang tutup lubang digital".

Saat Utang Jadi Gaya Hidup yang Mengkhawatirkan

Ada pergeseran besar dalam cara masyarakat memandang utang. Dahulu, berutang dianggap sebagai langkah terakhir saat kondisi benar-benar mendesak. Kini, berutang justru menjadi bagian dari strategi hidup sehari-hari. Belanja pakai paylater bukan hanya dianggap normal, tapi bahkan mulai dilihat sebagai tanda kecerdasan finansial: bisa belanja tanpa keluar uang sekarang.

Inilah yang berbahaya. Ketika utang dinormalisasi, orang akan kehilangan kepekaan terhadap risiko. Mereka akan terus membeli, terus mencicil, dan terus merasa aman sampai akhirnya mereka sadar bahwa jumlah cicilan yang harus dibayar per bulan sudah melebihi setengah penghasilan mereka.

Yang lebih ironis, promosi paylater sering kali dibalut dengan narasi produktivitas: beli laptop agar bisa bekerja, beli kursi ergonomis agar bisa lebih fokus, beli HP baru untuk menunjang bisnis online. Semua tampak logis dan produktif, padahal tidak semuanya benar-benar dibutuhkan.

Fenomena ini terjadi karena adanya cognitive dissonance konflik antara apa yang kita tahu dan apa yang kita lakukan. Kita tahu membeli barang dengan utang itu berisiko, tapi kita melakukannya juga karena merasa "nanti juga bisa dicicil".

Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan generasi baru yang kehilangan kemampuan menunda kesenangan, tidak terbiasa menabung, dan hidup dalam tekanan utang tanpa sadar. Mereka bisa terlihat sukses di media sosial, tapi rapuh di dunia nyata.

Kesehatan Mental dan Efek Psikologis Paylater

Topik ini jarang dibicarakan dalam wacana publik: dampak paylater terhadap kesehatan mental. Padahal, beban utang yang terus bertambah sering kali menyebabkan kecemasan, stres, bahkan depresi, terutama jika pengguna merasa tidak punya jalan keluar untuk melunasi kewajiban mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun