Menurut data yang dirilis oleh Bank Indonesia, 1 dari 3 pengguna paylater di Indonesia mengaku tidak tahu berapa total utang yang mereka miliki. Ini menunjukkan lemahnya literasi keuangan digital, yang ironisnya justru berkembang di tengah masyarakat yang sangat aktif menggunakan teknologi.
Perusahaan fintech sebagai penyedia layanan paylater memang memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan risiko produk mereka. Namun sering kali edukasi tersebut disampaikan dalam bahasa hukum yang sulit dipahami atau disisipkan dalam syarat dan ketentuan panjang yang jarang dibaca.
Akibatnya, banyak orang yang tidak sadar bahwa keterlambatan satu bulan saja bisa membuat tagihan membengkak drastis. Dan ketika itu terjadi, tidak sedikit yang akhirnya terjerat utang lebih dalam, berpindah dari satu layanan ke layanan lain hanya untuk menutup utang sebelumnya fenomena yang disebut "gali lubang tutup lubang digital".
Saat Utang Jadi Gaya Hidup yang Mengkhawatirkan
Ada pergeseran besar dalam cara masyarakat memandang utang. Dahulu, berutang dianggap sebagai langkah terakhir saat kondisi benar-benar mendesak. Kini, berutang justru menjadi bagian dari strategi hidup sehari-hari. Belanja pakai paylater bukan hanya dianggap normal, tapi bahkan mulai dilihat sebagai tanda kecerdasan finansial: bisa belanja tanpa keluar uang sekarang.
Inilah yang berbahaya. Ketika utang dinormalisasi, orang akan kehilangan kepekaan terhadap risiko. Mereka akan terus membeli, terus mencicil, dan terus merasa aman sampai akhirnya mereka sadar bahwa jumlah cicilan yang harus dibayar per bulan sudah melebihi setengah penghasilan mereka.
Yang lebih ironis, promosi paylater sering kali dibalut dengan narasi produktivitas: beli laptop agar bisa bekerja, beli kursi ergonomis agar bisa lebih fokus, beli HP baru untuk menunjang bisnis online. Semua tampak logis dan produktif, padahal tidak semuanya benar-benar dibutuhkan.
Fenomena ini terjadi karena adanya cognitive dissonance konflik antara apa yang kita tahu dan apa yang kita lakukan. Kita tahu membeli barang dengan utang itu berisiko, tapi kita melakukannya juga karena merasa "nanti juga bisa dicicil".
Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan generasi baru yang kehilangan kemampuan menunda kesenangan, tidak terbiasa menabung, dan hidup dalam tekanan utang tanpa sadar. Mereka bisa terlihat sukses di media sosial, tapi rapuh di dunia nyata.
Kesehatan Mental dan Efek Psikologis Paylater
Topik ini jarang dibicarakan dalam wacana publik: dampak paylater terhadap kesehatan mental. Padahal, beban utang yang terus bertambah sering kali menyebabkan kecemasan, stres, bahkan depresi, terutama jika pengguna merasa tidak punya jalan keluar untuk melunasi kewajiban mereka.