Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Gen Z Takut Tantangan? Ini Bukan Soal Malas, Tapi Lebih Dalam dari Itu

24 Mei 2025   12:17 Diperbarui: 24 Mei 2025   06:23 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tantangan.Pixabay.com/jplenio 

Pernahkah kamu bertanya-tanya kenapa banyak anak muda sekarang terlihat ragu, bahkan enggan, menghadapi tantangan hidup yang berat? Di sekolah, tempat kerja, hingga dalam hubungan sosial, muncul kecenderungan unik: Gen Z cenderung menghindari tekanan, lebih memilih zona nyaman, dan tidak seagresif generasi sebelumnya dalam menghadapi hambatan. Tapi benarkah mereka hanya manja atau malas? Atau ada hal lain yang jauh lebih kompleks?

Dalam tulisan ini, kita akan menggali lebih dalam alasan mengapa Gen Z, generasi yang sangat terhubung dengan teknologi dan informasi, justru menunjukkan ketakutan terhadap tantangan. Bukan sekadar opini dangkal, artikel ini mencoba membongkar lapisan-lapisan psikologis, budaya, dan sosial yang membentuk fenomena ini dengan cara yang ringan, mudah dipahami, dan bisa membuka cara pandang baru.

Ketika Informasi Terlalu Banyak Justru Menyebabkan Kelumpuhan Aksi

Satu hal yang sering luput dibahas adalah efek dari terlalu banyak informasi bukan kurangnya. Gen Z tumbuh dalam lautan data yang tak berujung. Apapun bisa dicari di Google, ditonton di YouTube, atau dijelajahi di TikTok. Mereka tahu banyak hal, bahkan lebih dari yang generasi sebelumnya pernah bayangkan. Tapi anehnya, pengetahuan itu tidak selalu berbanding lurus dengan keberanian mengambil keputusan.

Inilah yang disebut sebagai analysis paralysis kelumpuhan akibat terlalu banyak menganalisis. Ketika kamu tahu terlalu banyak kemungkinan, terlalu banyak risiko, dan terlalu banyak pendapat dari orang lain, kamu bisa merasa takut membuat pilihan. Akibatnya, Gen Z cenderung menunda-nunda, takut gagal, dan lebih memilih menghindari tantangan daripada mencoba dan berpotensi salah.

Fenomena ini bukan hanya muncul di dunia profesional, tapi juga dalam hal-hal sederhana. Misalnya, memilih jurusan kuliah atau pekerjaan pertama. Banyak dari mereka justru menolak semua pilihan karena "takut salah". Mereka merasa harus sempurna sejak awal, karena takut hidupnya akan "rusak" kalau salah langkah satu kali saja.

Ekspektasi yang Tidak Masuk Akal dan Tekanan dari Dunia yang Terlalu Terlihat

Di zaman orang tua kita, kegagalan adalah bagian dari proses, bukan akhir dari segalanya. Tapi bagi Gen Z, yang hidupnya hampir selalu terekspos di media sosial, kegagalan bisa terasa seperti aib yang disaksikan publik.

Inilah yang menciptakan tekanan besar yang tak pernah dialami generasi sebelumnya. Bayangkan: kamu gagal dalam suatu hal, dan bukan hanya orang di sekitarmu yang tahu. Tapi juga semua temanmu di Instagram, Twitter, TikTok. Bahkan, bisa jadi kamu jadi bahan perbincangan netizen.

Tekanan ini membuat tantangan bukan hanya soal kemampuan menghadapi masalah, tapi juga tentang harga diri dan identitas sosial. Maka jangan heran jika banyak Gen Z yang akhirnya menolak tantangan, bukan karena tidak mampu, tapi karena takut efek sosial dari kegagalan tersebut.

Banyak juga yang merasa harus "sukses cepat", seperti influencer yang mereka lihat di medsos. Tanpa sadar, mereka mengadopsi ekspektasi tidak realistis bahwa sukses harus datang di usia muda, harus terlihat sempurna, dan harus viral. Tantangan yang tidak langsung memberi hasil besar, dianggap tidak layak diperjuangkan.


Ketika Dunia Terasa Terlalu Rusak untuk Diperjuangkan

Ada satu hal yang jarang dibicarakan secara jujur oleh generasi lebih tua: betapa beratnya dunia yang diwariskan pada Gen Z. Mereka tumbuh dengan berita soal krisis iklim, ketimpangan sosial, konflik politik, dan inflasi yang terus naik. Rumah jadi makin tak terjangkau, pekerjaan makin sulit didapat, dan keamanan finansial makin terasa seperti mimpi.

Dalam kondisi ini, banyak dari mereka bertanya dalam hati: untuk apa berjuang? Untuk apa menerima tantangan, kalau dunia ini bahkan tidak menawarkan masa depan yang stabil? Ini bukan soal malas. Ini adalah kehilangan harapan.

Ketika kamu merasa perjuanganmu tidak akan memberi perubahan nyata, kamu cenderung memilih bertahan dalam zona nyaman. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu merasa dunia ini terlalu berat untuk dilawan sendirian. Di sinilah pentingnya memahami bahwa ketakutan Gen Z terhadap tantangan sering kali berasal dari perasaan putus asa kolektif.

Sistem Pendidikan dan Budaya yang Menumpulkan Keberanian Gagal

Salah satu ironi besar adalah bahwa sistem yang seharusnya membentuk mental tangguh, justru sering kali menanamkan ketakutan terhadap kegagalan. Di sekolah, nilai dan prestasi jadi tolok ukur segalanya. Gagal dalam ujian? Langsung dicap tidak cerdas. Tidak diterima di universitas favorit? Langsung dianggap masa depan suram.

Padahal, tantangan dan kegagalan adalah komponen penting dari pembelajaran kehidupan. Tapi sistem pendidikan dan juga budaya keluarga sering menghapus ruang itu. Anak-anak tumbuh dengan tekanan untuk selalu benar, selalu berhasil, selalu memenuhi harapan.

Akibatnya, mereka menjadi sangat takut mencoba hal baru. Bukan karena tidak punya minat, tapi karena sejak kecil sudah terbiasa berpikir bahwa gagal adalah aib. Tantangan pun berubah bentuk bukan lagi peluang, tapi ancaman bagi harga diri.

Gen Z Tidak Takut Tantangan Mereka Hanya Butuh Ruang untuk Bernapas

Maka, kesimpulan yang adil bukanlah bahwa Gen Z takut tantangan. Mereka tidak takut. Mereka hanya hidup dalam dunia yang membebani terlalu banyak ekspektasi, terlalu cepat berubah, dan tidak memberi ruang aman untuk belajar dari kegagalan.

Apa yang dibutuhkan Gen Z adalah pemahaman. Bukan omelan. Mereka butuh sistem yang memberi ruang untuk salah, lingkungan sosial yang tidak selalu menghakimi, dan budaya yang menghargai proses, bukan hanya hasil akhir.

Sebagai masyarakat, kita perlu berhenti menyalahkan mereka dan mulai mendesain ulang lingkungan tempat mereka tumbuh. Ciptakan ruang di mana mereka bisa menguji diri tanpa rasa takut. Berikan kepercayaan, bukan tuntutan. Arahkan dengan empati, bukan dengan label generasi lemah.

Penutup:

Tantangan bukan sesuatu yang harus ditakuti. Tapi ketika dunia terlalu keras, sistem terlalu menekan, dan harapan masa depan terasa rapuh, wajar jika banyak dari Gen Z memilih menahan langkah.

Tugas kita bukan menertawakan mereka, tapi mengulurkan tangan. Karena keberanian tidak lahir dari celaan, tapi dari keyakinan bahwa kamu punya tempat untuk tumbuh, salah, dan bangkit kembali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun