Banyak juga yang merasa harus "sukses cepat", seperti influencer yang mereka lihat di medsos. Tanpa sadar, mereka mengadopsi ekspektasi tidak realistis bahwa sukses harus datang di usia muda, harus terlihat sempurna, dan harus viral. Tantangan yang tidak langsung memberi hasil besar, dianggap tidak layak diperjuangkan.
Ketika Dunia Terasa Terlalu Rusak untuk Diperjuangkan
Ada satu hal yang jarang dibicarakan secara jujur oleh generasi lebih tua: betapa beratnya dunia yang diwariskan pada Gen Z. Mereka tumbuh dengan berita soal krisis iklim, ketimpangan sosial, konflik politik, dan inflasi yang terus naik. Rumah jadi makin tak terjangkau, pekerjaan makin sulit didapat, dan keamanan finansial makin terasa seperti mimpi.
Dalam kondisi ini, banyak dari mereka bertanya dalam hati: untuk apa berjuang? Untuk apa menerima tantangan, kalau dunia ini bahkan tidak menawarkan masa depan yang stabil? Ini bukan soal malas. Ini adalah kehilangan harapan.
Ketika kamu merasa perjuanganmu tidak akan memberi perubahan nyata, kamu cenderung memilih bertahan dalam zona nyaman. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu merasa dunia ini terlalu berat untuk dilawan sendirian. Di sinilah pentingnya memahami bahwa ketakutan Gen Z terhadap tantangan sering kali berasal dari perasaan putus asa kolektif.
Sistem Pendidikan dan Budaya yang Menumpulkan Keberanian Gagal
Salah satu ironi besar adalah bahwa sistem yang seharusnya membentuk mental tangguh, justru sering kali menanamkan ketakutan terhadap kegagalan. Di sekolah, nilai dan prestasi jadi tolok ukur segalanya. Gagal dalam ujian? Langsung dicap tidak cerdas. Tidak diterima di universitas favorit? Langsung dianggap masa depan suram.
Padahal, tantangan dan kegagalan adalah komponen penting dari pembelajaran kehidupan. Tapi sistem pendidikan dan juga budaya keluarga sering menghapus ruang itu. Anak-anak tumbuh dengan tekanan untuk selalu benar, selalu berhasil, selalu memenuhi harapan.
Akibatnya, mereka menjadi sangat takut mencoba hal baru. Bukan karena tidak punya minat, tapi karena sejak kecil sudah terbiasa berpikir bahwa gagal adalah aib. Tantangan pun berubah bentuk bukan lagi peluang, tapi ancaman bagi harga diri.
Gen Z Tidak Takut Tantangan Mereka Hanya Butuh Ruang untuk Bernapas