Pendekatan ini tak cukup hanya berbasis teknologi. Ia butuh elemen yang selama ini diabaikan: empati, pendampingan, dan pendidikan. Literasi keuangan harus jadi bagian dari sistem, bukan tambahan formalitas. Peminjam harus diberikan pemahaman mendalam sebelum kontrak ditandatangani, dengan bahasa sederhana, melalui interaksi yang manusiawi, bukan sekadar pop-up di aplikasi.
Lebih jauh lagi, konsep pemberdayaan harus kembali dihidupkan. Kredit mikro harus dibarengi pelatihan usaha, penguatan komunitas, dan bahkan keterlibatan koperasi lokal agar kontrol tidak sepenuhnya dipegang oleh entitas fintech yang jauh dari lapangan.
Kamu, sebagai bagian dari masyarakat, juga punya peran penting. Kesadaran bahwa gagal bayar bukan sekadar masalah pribadi, tapi refleksi dari kegagalan sistem, harus disuarakan. Hanya dengan begitu, tekanan publik akan mendorong munculnya regulasi yang lebih adil dan sistem keuangan yang benar-benar mendukung keberlanjutan hidup, bukan sekadar pertumbuhan angka.
Penutup
Kredit mikro seharusnya menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi tanpa sistem yang berpihak dan adil, jembatan itu bisa berubah jadi tali yang menjerat leher peminjamnya. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma dan kecepatan digital, kita tak boleh lupa bahwa manusia punya ritme, konteks, dan krisis yang tak bisa dinilai hanya dengan data. Saatnya membangun sistem keuangan yang lebih manusiawi, yang bisa melihat kemiskinan bukan sebagai peluang pasar, tapi sebagai tantangan moral bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI