Ketika seseorang mengambil pinjaman Rp500 ribu untuk membeli bahan dagang dan tiba-tiba anaknya sakit, tentu dana itu akan dialihkan ke pengobatan. Apakah itu bentuk kegagalan mengelola keuangan? Tentu tidak. Itu bentuk perlawanan terhadap krisis. Tapi sistem digital tidak peduli. Fintech hanya melihat angka: jatuh tempo hari ini, bayar atau didenda.
Kamu bisa bayangkan, dalam situasi seperti ini, gagal bayar bukan soal pilihan buruk, tapi hasil logis dari situasi ekonomi yang rapuh. Dalam laporan IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies), 2023, disebutkan bahwa sebagian besar peminjam mikro di sektor informal memiliki arus kas rumah tangga yang fluktuatif dan tak terprediksi. Mereka bukan malas atau tidak bertanggung jawab, melainkan korban dari desain sistem keuangan yang mengabaikan ritme kehidupan masyarakat miskin.
Lebih menyakitkan lagi, saat gagal bayar terjadi, bukan hanya ekonomi yang terpukul, tapi juga martabat. Banyak peminjam yang harus menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan pelecehan digital dari penagih utang. Ini luka yang tak terlihat, tapi menghancurkan secara perlahan.
Fintech yang Menjanjikan Inklusi, Tapi Melupakan Empati
Tak dapat disangkal, kehadiran fintech membawa revolusi dalam akses keuangan. Tapi akses yang cepat tanpa perlindungan, ibarat membuka keran air ke rumah yang atapnya bocor. Terlihat segar di awal, tapi kemudian merusak struktur dalam diam.
Di tengah gempuran promosi yang masif, aplikasi pinjaman online tumbuh tanpa keseimbangan antara pertumbuhan bisnis dan tanggung jawab sosial. Sebagian bahkan tidak memiliki mekanisme penilaian risiko yang adil. Sistem credit scoring yang mereka pakai hanya mengenal data digital: transaksi online, lokasi GPS, frekuensi komunikasi. Tapi mereka tak bisa menilai realitas sosial peminjam: apakah dia kepala keluarga, apakah usahanya musiman, atau apakah ia tinggal di wilayah dengan akses internet buruk.
Di sinilah letak krisisnya. Ketika fintech tak punya kedekatan sosial, maka ia hanya jadi mesin penagih digital tanpa nurani.
Yang lebih mencengangkan, laporan investigatif dari beberapa LSM menunjukkan bahwa beberapa penyedia fintech justru menargetkan peminjam dengan literasi rendah sebagai segmen pasar utama. Mereka tahu, semakin sedikit yang paham cara kerja bunga harian, maka semakin besar potensi keuntungan dari denda. Ini bukan inklusi keuangan. Ini eksploitasi berbasis data.
Regulasi dari OJK memang mulai bergerak, tapi selama fokusnya masih pada angka agregat bukan perlindungan mikro per kasus maka praktik seperti ini akan terus berlangsung, dan yang jadi korban tetap masyarakat miskin.
Dari Sistem Transaksi ke Ekosistem Keadilan Finansial
Sudah saatnya kita berhenti menganggap kredit mikro sebagai transaksi sepihak. Kredit adalah relasi sosial antara kepercayaan, kebutuhan, dan keberlanjutan. Maka pendekatannya juga harus berubah: dari sekadar menyalurkan dana, menjadi membangun ekosistem keuangan yang manusiawi dan inklusif.