Suatu malam, di tengah tumpukan faktur warung yang belum dibayar dan suara anak-anak yang tertidur lelap, seorang ibu menatap layar ponsel. Di sana, tertulis: "Jatuh tempo hari ini, segera lunasi untuk menghindari denda." Ia tak tahu harus berbuat apa. Uang dari hasil dagang hanya cukup untuk makan hari itu. Esok, ia harus kembali putar otak agar bisa bertahan. Cerita seperti ini terlalu sering terjadi.Â
Kredit mikro, yang dulu dikenal sebagai jembatan bagi masyarakat miskin untuk mengakses modal usaha, kini menjelma jadi labirin yang rumit. Dalam era digital, wajahnya diperhalus dengan nama-nama keren seperti fintech dan "keuangan inklusif". Tapi di balik kemasan modern itu, terdapat kenyataan yang pahit: sistem yang dibangun bukan untuk memahami rakyat kecil, melainkan untuk mempercepat sirkulasi modal dengan risiko ditanggung oleh mereka yang paling rentan.
Dari Alat Pemberdayaan Jadi Pemicu Ketergantungan
Konsep kredit mikro lahir dari semangat besar menciptakan akses keuangan bagi mereka yang termarjinalkan dari sistem perbankan. Dulu, model seperti Grameen Bank di Bangladesh jadi rujukan dunia memberikan pinjaman kecil dengan pendekatan sosial yang kuat, termasuk pembinaan dan pendampingan kelompok.
Tapi apa jadinya ketika model ini diadopsi oleh sistem yang sepenuhnya digital dan cepat ? Fintech peer-to-peer lending, yang berkembang pesat di Indonesia sejak 2016, menawarkan pinjaman mikro dalam waktu kurang dari 24 jam. Cukup unggah KTP dan isi data, uang langsung masuk. Ini tampak efisien, tapi juga berbahaya.
Prosesnya tanpa tatap muka, tanpa pembinaan, dan tanpa pemahaman siapa sebenarnya si peminjam. Di sinilah masalah mulai muncul. Banyak peminjam dari kelompok berpendapatan rendah yang menggunakan dana bukan untuk kegiatan produktif, melainkan untuk kebutuhan darurat harian. Di tengah minimnya literasi keuangan, keputusan itu dianggap normal. Padahal, secara sistem, penggunaan konsumtif justru sangat rentan terhadap gagal bayar.
Data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebutkan bahwa tingkat keterlambatan pengembalian pinjaman (TWP90) pada sektor mikro terus meningkat, terutama selama masa pandemi dan pasca pandemi. Artinya, makin banyak orang yang tertahan dalam lingkaran utang jangka pendek tanpa solusi jangka panjang.
Yang lebih memprihatinkan, saat mereka tak sanggup bayar, tak ada intervensi sosial. Tak ada upaya penyelamatan ekonomi, hanya notifikasi denda dan ancaman hukum. Sistem yang tadinya dijanjikan sebagai penyelamat, berubah jadi jebakan sunyi.
Mengapa Miskin Sering Dianggap Gagal Mengelola Diri?
Ada narasi usang yang terus direproduksi: bahwa orang miskin tak bisa mengatur keuangan. Padahal, realitasnya jauh lebih rumit. Miskin artinya hidup dalam kondisi serba tidak pasti, tanpa jaring pengaman. Setiap keputusan keuangan diambil dalam tekanan tinggi bukan karena bodoh, tapi karena tidak ada pilihan lain.