Namun, efek domino ini baru terasa optimal jika adopsi QRIS merata. Dan sayangnya, kita masih belum sampai ke sana. Per Oktober 2024, Bank Indonesia mencatat baru 40 juta pengguna aktif QRIS masih jauh dari potensi sesungguhnya. Penyebabnya? Kurangnya edukasi, keterbatasan akses perangkat digital, dan minimnya insentif bagi merchant kecil.
Revolusi Keuangan yang Tak Lagi Terdengar Seperti Utopia
Ketika kita bicara soal revolusi keuangan, seringkali bayangannya terlalu idealis. Seakan-akan semua bisa diselesaikan dengan aplikasi dan sinyal internet. Padahal, kenyataannya lebih kompleks. Revolusi ini berjalan dalam kerangka ekonomi-politik yang masih timpang.
Misalnya, sebagian besar bank digital yang aktif saat ini dimiliki oleh konglomerasi besar yang juga menguasai sektor lain seperti e-commerce, logistik, hingga media. Artinya, kekuatan finansial yang terdesentralisasi secara teknologi, sebenarnya tetap terkonsentrasi pada segelintir pemain. Ini menciptakan tantangan baru dalam hal persaingan usaha dan perlindungan data pribadi.
Selain itu, tak semua kelompok masyarakat siap menghadapi revolusi ini. Lansia, pekerja informal, masyarakat pedesaan, dan mereka yang hidup tanpa akses internet stabil semuanya berisiko tertinggal. Maka tugas negara bukan hanya membuka jalan bagi teknologi, tapi juga memastikan tak ada yang tertinggal dalam perjalanan.
Hal menarik lainnya, bank digital dan QRIS secara tak langsung mengubah relasi kekuasaan dalam sistem keuangan. Jika dulu kekuatan ada di tangan bank besar dan regulator, kini pengguna punya kuasa lebih besar untuk memilih, membandingkan, dan bahkan berpindah layanan dengan cepat. Ini menciptakan ekosistem baru yang lebih dinamis tapi juga lebih rentan terhadap disinformasi dan fraud.
Ketika Teknologi Menjadi Wajah Baru Kedaulatan Ekonomi
Apa yang sedang terjadi di Indonesia melalui bank digital dan QRIS bukan hanya soal efisiensi atau gaya hidup modern. Ini adalah ekspresi baru dari kedaulatan ekonomi digital. Ketika transaksi keuangan sudah tak lagi membutuhkan uang tunai atau kantor bank, maka ruang kendali negara terhadap arus uang berubah total.
Bank Indonesia dan OJK kini ditantang untuk meregulasi ekosistem yang terus berkembang secara eksponensial. Mulai dari pengawasan teknologi enkripsi, perlindungan data nasabah, hingga kontrol sistemik terhadap stabilitas makroekonomi yang kini terhubung langsung dengan fintech.
Namun ada kabar baik. Indonesia termasuk negara yang cukup progresif dalam hal regulasi keuangan digital. Penerapan sandbox regulasi oleh OJK, peluncuran BI-FAST, dan dukungan kebijakan inklusi keuangan digital menunjukkan bahwa negara hadir, meski belum sempurna.
Tapi yang lebih penting dari sekadar regulasi adalah bagaimana kita sebagai masyarakat menggunakan teknologi ini secara sadar. Kedaulatan ekonomi digital bukan hanya milik pemerintah atau pelaku industri. Ia juga milik kita semua, pengguna aktif yang setiap hari mengambil keputusan finansial lewat smartphone.