Pernah nggak kamu ngerasa kayak lagi di tengah pertengkaran dua orang raksasa, tapi kamu yang kecil justru yang paling kena imbasnya? Itulah posisi banyak negara berkembang sekarang. Dunia sedang menyaksikan bagaimana dua kekuatan ekonomi terbesar Amerika Serikat dan Tiongkok berlomba-lomba menunjukkan dominasinya. Tapi di tengah adu kuat itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia justru jadi arena tempur. Bukan karena mau, tapi karena nggak punya banyak pilihan selain bertahan.
Masalahnya, yang dipertaruhkan bukan cuma angka pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu, ini soal kedaulatan, arah masa depan, dan bagaimana negara-negara kecil bisa mengambil kendali atas nasibnya sendiri di tengah pusaran konflik dua kekuatan besar.
Persaingan Dua Kekuatan Ekonomi Lebih dari Sekadar Perang Dagang
Tak jarang banyak orang berfikir konflik antara Amerika dan Tiongkok cuma soal tarif dagang yang meliputi impor atau ekspor produk mereka. Padahal, ini sudah jauh melampaui perang dagang. Di balik ketegangan itu, ada pertempuran ideologi, teknologi, dan kepemimpinan global yang jauh lebih dalam. Amerika membawa narasi demokrasi dan pasar bebas, sementara Tiongkok datang dengan pendekatan pembangunan yang lebih otoriter namun efisien, serta investasi besar-besaran ke negara lain melalui program seperti Belt and Road Initiative (BRI).
Program BRI ini memang menggoda. Bayangkan saja, Tiongkok menawarkan pembangunan pelabuhan, jalan tol, jalur kereta, dan infrastruktur lain dengan cepat dan dana besar. Tapi di balik bantuan itu, muncul risiko. Banyak negara yang akhirnya terlilit utang besar karena tidak mampu membayar pinjaman. Sri Lanka adalah contoh nyata. Pelabuhan Hambantota yang mereka bangun dengan dana pinjaman dari Tiongkok akhirnya harus diserahkan ke Beijing karena gagal bayar.
Sementara itu, Amerika mencoba memperkuat aliansinya dengan negara-negara yang sudah punya sistem demokrasi mapan dan menolak dominasi Tiongkok di bidang teknologi terutama soal jaringan 5G dan pengaruh aplikasi digital buatan Tiongkok seperti TikTok. Mereka mengumpulkan kekuatan melalui forum seperti G7 hingga Indo-Pacific Di tengah pertarungan narasi dan pengaruh inilah, negara berkembang harus menentukan sikap.
Negara Berkembang Terjebak dalam Dilema Geopolitik
Bayangkan kamu sebagai pemimpin negara berkembang. Di satu sisi, Tiongkok menawarkan pembangunan infrastruktur besar-besaran, yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Tapi di sisi lain, Amerika mengingatkan bahwa terlalu dekat dengan Tiongkok bisa bikin kamu kehilangan kedaulatan karena ketergantungan yang terlalu besar.
Inilah dilema geopolitik yang sekarang dihadapi banyak negara berkembang. Mereka ditarik ke dua arah dan masing-masing punya risiko sendiri. Negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, Kenya, dan Pakistan berada di posisi yang sangat rentan. Mereka butuh investasi, teknologi, dan perdagangan. Tapi jika salah langkah, bisa saja mereka terjebak dalam konflik yang lebih besar dari yang mereka bisa tangani.
Apalagi, kondisi internal negara berkembang sering kali belum stabil. Ketimpangan sosial tinggi, ketergantungan pada komoditas mentah, rendahnya daya saing industri, dan belum matangnya institusi demokrasi membuat mereka rentan disusupi kepentingan asing. Ketika dua kekuatan dunia bertarung, ruang gerak negara berkembang makin sempit. Bahkan dalam beberapa kasus, tekanan dari kedua sisi bisa memicu krisis politik atau ekonomi.