Ada sesuatu yang berbeda ketika bulan Ramadhan tiba. Suasana yang lebih religius, semangat yang lebih besar untuk berbuat baik, serta kesadaran untuk memperbaiki diri yang semakin menguat. Tidak hanya soal menahan lapar dan dahaga, Ramadhan mengajarkan manusia tentang kesabaran, disiplin, dan kontrol diri. Ini adalah bulan di mana banyak orang berusaha menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Namun, yang sering terjadi adalah kebiasaan baik yang dibangun selama Ramadhan perlahan menghilang setelah bulan suci ini berakhir. Salat yang dulunya tepat waktu mulai kembali terlambat. Tilawah Al-Qur'an yang dulunya menjadi rutinitas harian berubah menjadi sekadar aktivitas sporadis. Rasa peduli terhadap sesama yang meningkat selama Ramadhan pun perlahan memudar setelah Idulfitri berlalu.
Ini bukan hanya fenomena individu, tetapi sesuatu yang dialami oleh banyak orang. Mengapa kebiasaan baik yang terasa begitu mudah dilakukan selama Ramadhan justru sulit dipertahankan setelahnya? Apakah ada faktor tertentu yang menyebabkan perubahan ini? Dan bagaimana agar kebiasaan baik yang sudah dibentuk selama bulan suci bisa terus bertahan dalam jangka panjang?
Ramadhan dan Peranannya dalam Pembentukan Kebiasaan
Dalam ilmu psikologi, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai habit loop atau siklus kebiasaan, yang terdiri dari tiga elemen utama: pemicu (cue), rutinitas (routine), dan penghargaan (reward). Selama Ramadhan, pemicu untuk melakukan kebiasaan baik sangat kuat. Adzan maghrib, misalnya, menjadi pemicu bagi orang untuk berbuka puasa. Suasana religius yang lebih kental di lingkungan sekitar juga mendorong seseorang untuk meningkatkan ibadahnya.
Kebiasaan baik yang dilakukan berulang kali dalam jangka waktu tertentu akhirnya membentuk pola baru dalam kehidupan seseorang. Studi dari University College London yang dilakukan oleh Phillippa Lally menemukan bahwa manusia membutuhkan rata-rata 66 hari untuk membangun kebiasaan yang permanen. Ramadhan yang berlangsung selama 30 hari memberikan fondasi awal yang sangat baik untuk perubahan, tetapi agar kebiasaan itu bertahan, harus ada upaya yang lebih lanjut setelah bulan suci berakhir.
Mengapa Kebiasaan Baik Mudah Hilang Setelah Ramadhan?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebiasaan baik sulit bertahan setelah Ramadhan. Salah satu faktor utama adalah berkurangnya pemicu eksternal. Selama Ramadhan, seseorang dikelilingi oleh lingkungan yang mendukung---keluarga yang bersama-sama beribadah, teman-teman yang mengingatkan untuk berbuat baik, serta jadwal harian yang sudah diatur dengan jelas. Ketika Ramadhan usai, pemicu-pemicu ini menghilang, dan tanpa adanya dorongan eksternal, seseorang lebih mudah kembali kepada kebiasaan lamanya.
Selain itu, banyak orang menjalankan kebiasaan baik selama Ramadhan hanya karena suasana dan kewajiban, bukan karena kesadaran intrinsik yang benar-benar kuat. Sebagai contoh, seseorang mungkin lebih rajin membaca Al-Qur'an selama Ramadhan karena ingin menyelesaikan satu juz per hari seperti yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Namun, setelah Ramadhan, ketika tidak ada lagi target atau dorongan sosial yang sama, aktivitas ini mulai ditinggalkan.
Faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya strategi jangka panjang dalam mempertahankan kebiasaan. Banyak orang yang berusaha melakukan perubahan besar-besaran selama Ramadhan tanpa memikirkan bagaimana cara mempertahankannya setelah bulan suci berlalu. Akibatnya, kebiasaan baik yang terbentuk hanya bersifat sementara, bukan sesuatu yang benar-benar melekat dalam diri.