Bayangkan seorang anak tunanetra yang ingin belajar membaca dan menulis, tetapi buku-buku pelajaran di sekolahnya tidak dilengkapi huruf Braille. Atau seorang remaja tunarungu yang ingin memahami pelajaran di kelas, namun tidak ada penerjemah bahasa isyarat yang membantunya. Realitas ini masih menjadi tantangan bagi jutaan penyandang disabilitas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, muncul harapan baru melalui kemajuan teknologi. Dari perangkat lunak pembaca layar hingga sistem kecerdasan buatan yang dapat menyesuaikan metode pembelajaran sesuai kebutuhan individu, teknologi semakin membuka akses pendidikan yang lebih inklusif. Namun, apakah teknologi benar-benar telah menjadi solusi yang efektif, atau masih ada hambatan yang harus diatasi?
Artikel ini akan mengupas secara mendalam bagaimana teknologi membantu penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tantangan yang masih dihadapi, serta langkah-langkah yang perlu dilakukan agar pendidikan inklusif bukan sekadar konsep, tetapi kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua orang.
Pendidikan dan Disabilitas Antara Hak dan Kenyataan
Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap individu tanpa memandang latar belakang atau kondisi fisik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia telah menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sayangnya, kenyataan di lapangan sering kali berbeda.
Menurut data UNESCO, lebih dari 90% anak-anak penyandang disabilitas di negara berkembang tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Hambatan utama yang mereka hadapi bukan hanya infrastruktur sekolah yang tidak ramah difabel, tetapi juga kurangnya tenaga pengajar yang memiliki kompetensi dalam mengajar siswa dengan kebutuhan khusus.
Di Indonesia sendiri, data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas yang mendukung pembelajaran bagi penyandang disabilitas. Misalnya, hanya sebagian kecil sekolah yang menyediakan buku dalam huruf Braille, perangkat pembaca layar, atau sistem komunikasi alternatif bagi siswa dengan gangguan pendengaran.
Masalah ini semakin kompleks ketika berbicara tentang aksesibilitas dalam pendidikan tinggi. Banyak perguruan tinggi yang belum menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi mahasiswa difabel. Misalnya, beberapa kampus masih belum memiliki lift untuk mahasiswa yang menggunakan kursi roda, atau materi kuliah yang tidak tersedia dalam format audio bagi tunanetra.
Dari berbagai permasalahan ini, muncul pertanyaan besar: apakah teknologi bisa menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi kesenjangan pendidikan bagi penyandang disabilitas?
Teknologi dan Transformasi Pendidikan bagi Difabel