Di sini aku bertetangga, di sini aku tumbuh.
Saya masih ingat hari pertama kami pindah ke rumah ini. Sore itu, seorang ibu mengetuk pintu membawa sepiring gorengan. "Selamat datang di RT 06," katanya, ramah. Tak butuh waktu lama untuk tahu siapa yang tinggal di rumah hijau dua rumah dari kami, siapa yang rajin ronda, siapa yang selalu menitipkan kunci jika mudik. Ternyata, rumah bukan hanya soal dinding dan atap. Rumah adalah tentang siapa yang berada di sekitar kita.
Di kontrakan dulu, kami tak saling mengenal. Pintu ditutup rapat, hati pun ikut terkunci. Tapi di rumah ini, pagi terasa lebih manusiawi. Ada sapaan "Pagi, Pak!" dari tetangga, ada obrolan ringan di warung kecil ujung jalan, ada tukang sayur yang tahu selera kita bahkan sebelum kita buka mulut. Anak saya punya teman bermain. Saya punya teman ngopi. Istri saya mulai aktif di kegiatan lingkungan. Dan perlahan, kami merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Dalam rumah milik sendiri, ada rasa tanggung jawab yang berbeda. Saya mulai ikut kerja bakti. Kami menjaga lingkungan agar tetap bersih, bukan karena aturan, tapi karena peduli. Kami menanam bunga di pinggir selokan, bukan demi estetika semata, tapi karena ingin hidup berdampingan dengan baik.
Dan akhirnya, saya menyadari, rumah yang sesungguhnya bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat di mana hidup bisa tumbuh dengan akar, batang, dan daun-daun kecil yang menyambut matahari setiap pagi. Memiliki rumah bukan sekadar pencapaian finansial. Ia adalah bentuk keberanian untuk menetap, untuk merawat, dan juga untuk berharap. Di tengah dunia yang serba cepat dan sementara ini, rumah menawarkan sesuatu yang abadi yaitu tempat untuk menjadi diri sendiri, tempat untuk mencintai, dan tempat untuk pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI