Saya melihat anak-anak bersepeda riang di sore hari, orang-orang tua berjalan kaki mengelilingi danau buatan. Di clubhouse kecil, beberapa ibu tampak sedang yoga, diselingi tawa saat salah satu dari mereka kehilangan keseimbangan. Saya bahkan pernah menyaksikan sekelompok ayah bermain basket di malam hari, setelah jam kantor. Ini bukan hal sepele. Kadang dalam kesunyian rumah modern, kita terlalu mudah menjadi asing" bagi tetangga kita sendiri.
Saya tidak mengklaim ini adalah sebuah utopia. Ini adalah usaha sadar untuk merancang ruang komunal yang bisa mendorong orang untuk saling menyapa dan untuk berinteraksi. Menyediakan tempat untuk bertukar cerita, bukan hanya sekadar lahan parkir atau taman kosong tanpa bangku.
Rasa aman pun tak luput dari perhatian. Saya melihat pos jaga di pintu masuk, lengkap dengan sistem CCTV dan kartu akses. Namun, yang membuat saya merasa benar-benar aman bukan hanya karena itu. Melainkan fakta bahwa tetangga di sini mengenal nama satu sama lain. Rasa aman itu, menurut saya, bukan hanya karena pagar dan satpam, tetapi karena kehadiran sosial yang hidup dan saling peduli. Dan semua itu tentu saja sudah dipikirkan dari awal dalam perencanaan masterplan.
Saya masuk ke salah satu unit contoh. Tidak terlalu luas, namun terasa lega. Tata letak ruangannya tidak memaksakan estetika kosong tetapi di setiap sudut memiliki fungsi. Cahaya matahari masuk berlimpah dari jendela besar, dan ventilasi menyilang membuat udara terasa segar tanpa perlu menyalakan pendingin ruangan.
Lalu saya sentuh dindingnya. Bahan bangunannya terasa kokoh. Lantai tidak terasa kopong. Detail-detail kecil ini menunjukkan bahwa rumah ini dibangun bukan sekadar untuk dijual cepat, tetapi untuk ditinggali dalam jangka panjang. Saya langsung teringat rumah teman saya di pinggir kota yang baru dibeli tahun lalu. Indah di foto, tetapi dindingnya retak dalam dua bulan, dan taman kecil di belakang berubah jadi kubangan setelah musim hujan pertama. Ia tertipu oleh brosur semata.
Sementara di sini, saya merasa ada niat yang tulus. Bukan hanya untuk membangun fisik rumah, tetapi membangun kehidupan yang utuh di dalamnya.
Lebih dari sekadar tempat tinggal.
Saya pernah tinggal di banyak tempat. Kamar kos sempit di belakang kampus. Rumah kontrakan yang dindingnya berjamur saat musim hujan. Apartemen studio di pusat kota yang disewa per tahun. Semuanya memberi tempat berteduh, tapi tak satu pun memberi rasa "pulang". Apa bedanya antara tinggal dan pulang? "Tinggal" hanyalah soal tempat tetapi "pulang" adalah soal rasa.
Di rumah sewa, saya harus berpikir dua kali saat ingin menanam pohon di halaman. Tidak bisa mengecat dinding dengan warna favorit. Bahkan mengganti gagang pintu saja harus izin pemilik. Rumah itu seperti baju pinjaman. Bisa dipakai, tapi tak pernah pas di hati.
Saat akhirnya memiliki rumah sendiri, meskipun kecil dan letaknya agak di pinggir, ada rasa seperti bernapas penuh untuk pertama kalinya. Saya bisa menata ruang tamu sesuai keinginanku. Meletakkan foto keluarga di dinding. Menyimpan koleksi buku di rak yang saya pasang sendiri. Dan yang paling sederhana, saya bisa meninggalkan sandal di teras tanpa takut hilang.
Rumah yang saya miliki bukan sekadar bangunan. Ia menjadi saksi saat anak saya jatuh dari sepeda di halaman, saat istri saya menangis di ruang makan karena rindu ibunya, dan ketika saya sendiri duduk termenung di malam hari, memikirkan arah hidup. Memiliki rumah mengubah cara berpikir saya tentang waktu. Segalanya jadi lebih lambat, tetapi lebih dalam. Tak ada lagi ketergesa-gesaan seperti saat masih berpindah-pindah tempat tinggal. Sekarang, saya merasa punya akar, dan di sanalah, rasa aman itu tumbuh.