Label-label khusus pun bermunculan disematkan bagi beberapa kardinal oleh media dalam berita-berita yang ditayangkan. Sebagai contoh, Kardinal Luis Antonio Tagle yang berasal dari Filipina, yang mendapat sebutan Bergoglio dari Asia karena memiliki kedekatan atau kesamaan akan prioritas dan arah karya-karya pastoral yang dijalankan oleh Paus Fransiskus sebelumnya, yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio. Label-label yang membuat para follower akun medsos tersebut semakin ramai berkomentar. Bahkan cuplikan video lama saat Kardinal Tagle menyanyikan lagu Imagine di atas panggung pun diunggah di medsos dan kini menjadi viral. Sementara itu di salah satu media Indonesia, yang menarik perhatian saya beberapa waktu yang lalu, adalah judul berita yang menuliskan bahwa ada isu ramai yang mengatakan Kardinal Ignatius Suharyo dicalonkan menjadi Paus.
Penggunaan media sosial yang terus semakin meluas dari waktu ke waktu, yang dapat menayangkan hampir semua hal dengan mudah, sepertinya mendorong terciptanya suasana ingar bingar konklaf kali ini. Karena di situ orang-orang bisa bebas bersuara, bebas memuji, bebas mencemooh, beradu pendapat dengan orang-orang yang bahkan sama sekali tidak dikenal. Orang-orang merasa bahwa apa pun boleh dilakukan tanpa ada aturan. Ditambah lagi tren di era saat ini bahwa semua hal harus menjadi viral. Apa saja dibuat menjadi viral.
Tidak ada yang salah bila banyak orang yang peduli atau memberikan perhatian akan pelaksanaan konklaf ini. Malahan itu sesuatu yang baik bila bersama-sama memiliki harapan terpilihnya seorang Paus baru yang bisa memberikan banyak kebaikan tidak hanya bagi Gereja Katolik, tapi juga untuk dunia yang sedang dilanda banyak kekacauan dan peperangan saat ini.
Sementara bagi kanal-kanal berita resmi, tentu itu adalah tugas para jurnalis sebagai pewarta berita untuk menyampaikan informasi yang berguna seputar konklaf kepada masyarakat luas.
Namun, apakah hal seperti yang disebutkan di atas itu tepat bagi sebuah proses pemilihan seorang Paus yang baru? Apakah tepat beramai-ramai memberikan vote di medsos untuk hal ini, memberi komentar negatif untuk seorang kardinal elektor, atau memviralkan video lama seorang kardinal menjelang pelaksanaan konklaf?Â
Apakah tepat membuat judul-judul berita dengan bumbu-bumbu yang terkesan memancing agar situasi semakin ramai di kolom komentar? Atau membuat judul berita yang dapat membuat bingung pembaca yang tidak tahu info yang sebenarnya tentang proses konklaf? Seperti berita tentang Kardinal Ignatius Suharyo yang disebutkan di atas. Beliau memang salah satu kardinal elektor, yang berhak memilih dan dipilih dalam konklaf ini karena beliau adalah seorang kardinal yang berusia di bawah 80 tahun. Salah satu syarat untuk mengikuti konklaf. Jadi, itu bukanlah isu, dan masalah dicalonkan.
Tujuan menayangkan berita atau tulisan memang untuk dibaca oleh orang lain, tapi tidak  melulu semua harus viral, bukan?! Dan hasil konklaf tidak berdasarkan berapa orang yang memberikan komentar atau suka dan tidak suka akan seorang kardinal di medsos.
Menemukan Pilihan Tuhan
Saya seorang umat Katolik biasa, bukan seorang ahli apa pun tentang gereja. Saya hanya tahu hal-hal umum dan pengetahuan dasar dalam Gereja Katolik yang saya dapatkan sejak kecil dari orang tua dan pendidikan di sekolah. Dan dengan pengetahuan dasar itu cukuplah untuk memahami hal-hal umum tentang konklaf. Bahwa pemilihan ini bukanlah pemilihan seorang presiden, bukan perebutan kursi antar partai politik, bukan juga seperti ajang pemilihan bintang idola yang butuh vote dari pendukungnya, atau seperti pemilihan pesepak bola terbaik dunia Ballon d'Or yang perlu vote dari para jurnalis. Dilihat dari makna nama pemilihan ini saja serta prosesnya sudah berbeda. Â
Ini adalah proses memilih seorang gembala umat yang akan memimpin Gereja Katolik di seluruh dunia. Seorang pelayan gereja yang akan mengemban tugas yang berat, demi kebaikan Gereja Katolik, umat, dan dunia. Bukan hal main-main, atau untuk bersenang-senang. Bukan hal untuk mencapai ambisi pribadi, karir, atau mencari kepopuleran. Seperti yang dikatakan juga oleh Kardinal Ignatius Suharyo."Keinginan menjadi Paus adalah sikap bodoh." Bahkan Paus Fransiskus pun, pada satu kesempatan pernah menjawab pertanyaan seorang anak kecil yang bertanya kepada beliau, "Apakah Anda memang ingin menjadi Paus? Dan Paus Fransiskus pun menjawab "Tidak."
Dalam konklaf para kardinal bersama-sama akan berusaha menemukan kehendak Tuhan. Siapa yang akan dipilihNya. Memang melalui para kardinal lah Paus yang baru akan terpilih. Namun, akhirnya Tuhan sendirilah yang akan memilih wakil Kristus selanjutnya di dunia ini, sebagai penerus Santo Petrus. Sehingga dalam prosesnya akan dibarengi dengan laku doa yang terus menerus. Bukan suasana ingar bingar. Serta memohon bimbingan Roh Kudus untuk dapat memilih sesuai kehendak Tuhan. Inilah yang dipercayai oleh Gereja Katolik.