Bayangkan sebuah keluarga besar. Ayah memutuskan untuk memangkas uang belanja rumah tangga karena katanya perlu dialihkan untuk membiayai pesta besar. Anak-anak di rumah protes, bukan karena tidak paham pentingnya pesta, tetapi karena mereka tahu dapur akan kosong, sekolah anak-anak bisa terganggu, dan listrik mungkin tidak terbayar. Di ruang keluarga, suara riuh itu berubah menjadi keributan yang tidak bisa diredam hanya dengan janji bahwa "suatu saat nanti kalian akan mengerti."
Beginilah kira-kira wajah Indonesia hari-hari ini. Pemerintah pusat memilih untuk memangkas kucuran dana bagi daerah, sebuah keputusan yang disebut demi proyek besar yang katanya untuk kebaikan bersama. Namun, di mata daerah, itu ibarat mengambil nasi dari piring orang lain untuk menambah lauk di meja tamu. Daerah yang selama ini hidup dari alokasi tersebut kini merasa dipaksa untuk mengurangi pelayanan, sementara beban justru akan dialihkan ke rakyat dalam bentuk pajak baru.
Di jalanan, amarah yang terkumpul bukan sekadar soal angka. Demonstrasi yang menjalar dari satu provinsi ke provinsi lain menunjukkan bahwa ini tentang rasa keadilan yang direnggut. Rakyat menilai, ada kesenjangan besar antara narasi penghematan yang dibebankan ke bawah dan kelonggaran fasilitas yang dinikmati ke atas. Ketika para wakil rakyat diberitakan menerima tunjangan yang tak kecil, sementara daerah harus memangkas pengeluaran vital, publik melihat kontras yang menyakitkan.
Analoginya sederhana: jika seorang kapten kapal memilih untuk memperbaiki dek dansa sementara lambung kapal bocor, maka penumpang akan meragukan prioritasnya. Daerah adalah lambung kapal republik ini. Dari sanalah pangan, tenaga, hingga kekuatan sosial mengalir. Bila lambung itu dikorbankan demi lantai dansa, wajar jika penumpang memilih turun, atau bahkan mengguncang kapal.
Protes yang muncul bukanlah sekadar teriakan spontan, melainkan akumulasi rasa frustrasi. Ini adalah subsidi amarah yang dibayar tunai dengan keringat, gas air mata, bahkan darah di jalanan. Negara seakan lupa bahwa stabilitas tidak bisa dibeli dengan program megah semata. Ia tumbuh dari kepercayaan---dan kepercayaan lahir dari keadilan yang nyata.
Mungkin pemerintah bermaksud menunjukkan optimisme dengan janji-janji pembangunan. Namun, tanpa perasaan adil, janji itu terdengar seperti musik yang dimainkan di pesta mewah, sementara di luar gedung orang-orang berdesakan mencari sesuap nasi. Pesta tetap bisa diadakan, tapi apakah pantas ketika keluarga sendiri berkelahi di meja makan?
Republik ini rapuh bukan karena kurang uang, tetapi karena salah menempatkan prioritas. Subsidi amarah sedang dipanen, dan bila benihnya terus ditebar, tak ada yang bisa memastikan apakah panen berikutnya masih berupa demonstrasi, atau sudah menjadi badai yang lebih besar.
dapatkan buku  republik rapuh di sini http://lynk.id/pdfonline/3891zzdd0y7x/checkout
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI