Ketika mendengar kata anime, sebagian orang mungkin langsung membayangkan tontonan kartun Jepang dengan mata besar, rambut warna-warni, dan jalan cerita penuh imajinasi. Namun, setelah membaca buku Anime dan Budaya Pop: Pengaruh Jepang di Seluruh Dunia, saya menyadari satu hal penting: anime bukan sekadar hiburan. Ia adalah fenomena budaya yang tumbuh dari sebuah negara, lalu menjelma menjadi bahasa global yang dipahami dan dicintai jutaan orang di seluruh dunia.
Buku ini membuka perjalanan panjang anime sejak era awal, ketika Osamu Tezuka menciptakan Astro Boy di tahun 1960-an, hingga anime modern yang mendominasi platform streaming. Di setiap halamannya, saya merasa seperti diajak berjalan melewati lorong waktu, dari masa ketika anime masih dianggap tontonan anak-anak hingga kini, ketika ia menjadi bagian dari diskusi akademik, mode, musik, bahkan politik identitas. Yang menarik, penjelasan dalam buku ini tidak kaku, melainkan dibawakan dengan gaya naratif yang mengalir, sehingga pembaca tidak merasa sedang membaca teori, melainkan kisah yang hidup.
Hal yang membuat buku ini semakin memikat adalah bagaimana ia menjabarkan pengaruh anime ke berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya dunia fashion, di mana anime memberi inspirasi bagi banyak desainer dan brand global. Dari hoodie bergambar karakter Naruto hingga koleksi eksklusif di Uniqlo, pengaruh itu nyata di sekitar kita. Dalam musik, anime juga meninggalkan jejak mendalam. Lagu tema Your Name dari RADWIMPS atau soundtrack legendaris Naruto dan Bleach telah melintasi batas bahasa, membuat siapa saja bisa merasakan emosinya meski tak mengerti liriknya. Bahkan Hollywood pun tak luput dari jejak anime; film seperti The Matrix terang-terangan dipengaruhi gaya visual anime, dan beberapa judul besar sudah diadaptasi menjadi live action, meski hasilnya kerap menuai perdebatan.
Buku ini juga menyinggung bagaimana anime berhubungan dengan identitas. Di balik cerita fantasi dan aksi, anime sering kali membicarakan isu serius: persahabatan, kesetiaan, perjuangan melawan ketidakadilan, hingga representasi gender dan LGBTQ+. Judul seperti Yuri on Ice dan Given menunjukkan keberanian anime untuk mengangkat tema-tema yang jarang disentuh media arus utama. Dari sisi ini, anime ternyata tidak hanya membentuk selera hiburan, tetapi juga cara kita memandang diri sendiri dan orang lain.
Yang membuat saya tersentuh adalah bagian tentang dampak anime pada generasi muda. Banyak anak yang tumbuh bersama karakter seperti Naruto, Luffy, atau Goku, dan tanpa disadari mereka belajar tentang pantang menyerah, kerja sama, dan arti mimpi dari karakter-karakter itu. Anime juga menjadi sarana pendidikan terselubung. Cells at Work! menjelaskan tubuh manusia dengan cara menyenangkan, sementara Dr. Stone mengubah ilmu pengetahuan menjadi petualangan epik. Rasanya luar biasa menyadari bahwa sesuatu yang dulu saya anggap sekadar tontonan sore hari, ternyata bisa membentuk pola pikir dan nilai hidup.
Selain menoleh ke masa lalu, buku ini juga menatap ke depan. Ada pembahasan menarik tentang bagaimana teknologi CGI dan kecerdasan buatan bisa mengubah wajah anime di masa depan. Tema-tema yang semakin kompleks juga mulai muncul, dari isu lingkungan hingga krisis eksistensial. Rasanya anime akan terus berevolusi, dan buku ini memberi gambaran bagaimana kita bisa bersiap menyambut gelombang baru itu.
Membaca buku ini membuat saya merenung. Saya teringat masa kecil ketika menunggu jam tayang Doraemon setiap Minggu pagi, lalu tumbuh dengan Naruto dan Bleach, hingga kini menikmati karya-karya emosional seperti Your Lie in April. Semua momen itu terasa seperti potongan hidup yang terjalin dengan anime. Buku ini mengingatkan saya bahwa pengalaman pribadi itu ternyata bagian dari sesuatu yang lebih besar: fenomena global yang dialami jutaan orang di belahan dunia lain.
Kelebihan utama buku ini adalah bahasanya yang ringan dan mudah dipahami. Ia tidak ditulis untuk akademisi semata, tetapi juga untuk pelajar, mahasiswa, bahkan orang tua yang ingin memahami kenapa anak-anak mereka begitu mencintai anime. Banyak contoh yang diangkat adalah judul populer, sehingga pembaca mudah merasa dekat. Buku ini juga tidak hanya berhenti pada data, tetapi memberi ruang untuk refleksi. Kita tidak hanya tahu bahwa anime berpengaruh, tetapi juga diajak untuk merenungkan bagaimana pengaruh itu membentuk diri kita.
Pada akhirnya, buku Anime dan Budaya Pop: Pengaruh Jepang di Seluruh Dunia adalah bacaan penting di era globalisasi budaya. Ia memberi perspektif bahwa anime bukan sekadar "kartun Jepang," melainkan seni, media pendidikan, dan diplomasi budaya. Membacanya membuat kita sadar, di balik karakter fiksi yang kita tonton, ada pesan universal tentang cinta, harapan, perjuangan, dan identitas manusia.
Buku ini berhasil mengubah cara pandang saya terhadap anime. Ia bukan hanya nostalgia masa kecil atau hiburan pengisi waktu, tetapi cermin yang membantu kita memahami dunia---dan diri kita sendiri---dengan lebih baik.