Saya telah membaca banyak buku sejarah, fiksi sejarah, dan bahkan sejarah alternatif. Namun hanya sedikit yang berhasil membuat saya terdiam lama setelah menutup halaman terakhir. Salah satunya adalah buku ini--- Skenario Alternatif Jika Tan Malaka Presiden Pertama Indonesia . Sebuah karya yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mengejutkan secara emosional dan menyayat kesadaran sosial saya sebagai rakyat Indonesia.
Buku ini bukan fiksi biasa. Ia adalah "cermin retak" sejarah kita---bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk bertanya ulang: bagaimana jika yang kita anggap sebagai takdir sejarah, sebenarnya adalah hasil dari satu perlindungan kecil saja?
Mulai dari bab pertama, saya langsung ditarik ke dalam suasana Indonesia tahun 1945 yang berbeda. Soekarno tidak membacakan proklamasi. Tidak ada Pegangsaan Timur. Tidak ada teks yang tersiar melalui radio. Yang ada adalah Tan Malaka, berdiri di Bukittinggi, membacakan proklamasi di hadapan rakyat biasa---bukan elit politik, bukan diplomat asing---tapi buruh, petani, dan guru.
Dari situ, saya mulai merasakan detak jantung baru dalam narasi kebangsaan. Buku ini tidak hanya menampilkan Tan Malaka sebagai presiden, namun membangun seluruh semesta Indonesia yang berbeda: sebuah republik yang lahir dari bawah, dari akar, dari orang-orang yang sebelumnya tak punya suara.
Bab demi bab membawa saya menelusuri dunia alternatif ini: bagaimana kabinet Tan Malaka tidak diisi oleh politisi, melainkan oleh guru desa, dokter relawan, dan petani tua yang paham menetes lebih baik dari teknokrat mana pun. Bagaimana tanah-tanah bekas perkebunan Belanda langsung dibagi ke rakyat, tidak dikembalikan ke negara. Bagaimana anak-anak diajari Marx dan Kartini bukan untuk menjadi ekstremis, tapi agar tidak mudah diperdaya.
Di tengah semua itu, ada bab tentang diplomasi yang membuat saya tercengang. Tan Malaka menolak bertemu dengan utusan Belanda, menolak berkongsi dengan modal asing, dan bahkan enggan ke PBB. Ia memilih membangun aliansi dengan Vietnam, Palestina, Kuba---negara-negara yang kala itu sama-sama belum diakui dunia. Namun anehnya, Indonesia justru menjadi lebih berdaulat dalam kesendiriannya.
Kemudian, datanglah bab tergelap--- Perang Dua Indonesia . Saya sempat berhenti membaca karena emosi. Sutan Sjahrir, yang digambarkan dengan sangat manusiawi, menjadi oposisi yang idealis namun terseret kepentingan asing. Tan Malaka tidak membalas dengan kekerasan. Ia menolak menangkap Sjahrir, menolak membungkam lawan politik, bahkan ketika darah sudah tumpah. "Kita memerangi gagasan, bukan orangnya," katanya. Saya membaca berulang kali.
Perdamaian akhirnya datang melalui meja kayu sederhana di Yogyakarta. Tidak ada bendera. Tidak ada media. Hanya dua tokoh yang duduk sebagai manusia. Ini bukan hanya bab terbaik dalam buku ini, tapi mungkin salah satu adegan paling kuat yang pernah saya temui dalam literatur sejarah alternatif.
Lalu pemilu dilaksanakan. Bukan karena tekanan internasional, tapi karena republik ini---versi Tan Malaka---memang dibangun agar rakyatnya berdaulat. Kampanye dilakukan tanpa uang. Debat dilakukan di alun-alun. Anak-anak melukis poster kandidat di atas karung goni. Saya tersenyum membaca semua itu karena terasa begitu nyata sekaligus menyakitkan: inilah Indonesia yang kita dambakan, tapi tak pernah kita capai.
Buku ini bukan mengagungkan Tan Malaka. Ia juga menampilkan kegagalan dan konflik. Namun itulah yang membuatnya begitu jujur. Ia tidak menawarkan utopia. Tapi kemungkinannya. Bagi saya, itu jauh lebih penting.